Azis Syamsuddin Pimpin Delegasi DPR RI ke Pertemuan Inter-Parliamentary Union
Oleh: Dina Hidayana, S.P., M.Sc. (*)
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sine qua non demokrasi. Dalam Pemilu, masyarakat memperoleh kesempatan untuk mewujudkan haknya memilih dan menentukan pemimpin; sekaligus menjalankan kewajibannya sebagai warga yang baik dengan berkontribusi bagi proses seleksi kepemimpinan negara. Tanpa Pemilu sangat sulit membayangkan sebuah negara dan sistem politik bisa dianggap demokratis.
Tapi hal yang jauh lebih penting adalah memilih sistem Pemilu yang tepat. Kesalahan dalam memilih sistem yang tepat bukan saja akan gagal menghasilkan proses seleksi kepemimpinan yang memadai dan berdaya guna, tapi juga mengancam sendi-sendi dasar demokrasi yang sudah dibangun selama ini. Lebih jauh sistem yang kurang tepat bisa menimbulkan banyak persoalan pelik yang mengganggu jalannya pemerintahan, pembangunan sistem politik dan bahkan integrasi bangsa.
Selama ini sistem proporsional terbuka menjadi pilihan yang dianggap paling tepat. Seperti diketahui sistem ini dipandang memiliki banyak kelebihan. Diantaranya, pertama, dalam sistem terbuka masyarakat atau pemilih bisa memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk menentukan pemimpin atau wakil rakyat yang sesuai dengan kehendak dan kepentingan orang banyak. Sebagai konsekuensinya para kandidat juga akan tertuntut untuk lebih transparan, akuntabel dan bersungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan konstituennya. Sebaliknya dalam sistem tertutup kekuasaan masyarakat sangat terbatas, pengaruh partai akan lebih besar dalam menentukan pemimpin masa depan.
Kedua, sistem terbuka juga mendorong demokratisasi partai. Pada dasarnya dalam sistem ini setiap kader memiliki peluang yang sama, sepanjang bisa memperoleh dukungan pemilih. Akibatnya garis komando dan hirarki yang berlebihan, faktor “darah biru” dan intimidasi—yang sangat mungkin muncul dalam sistem tertutup—menjadi kurang relevan. Sistem terbuka karenanya mendorong partai untuk bersifat lebih terbuka, partisipatif dan mengurangi dominasi elit.
Ketiga, demokratisasi partai pada gilirannya akan membuka akses yang lebih besar kepada masyarakat luas bukan saja untuk menjadi kader partai; tapi juga (calon) pemimpin di masa yang akan datang. Politik dan kepemimpinan negeri ini tidak lagi menjadi hak prerogratif sekelompok orang, tapi menjadi peluang yang terbuka bagi hampir siapa saja warganegara yang memenuhi syarat. Artinya dalam jangka panjang sistem terbuka memperkuat dan memperluas proses demokratisasi terutama dalam hal seleksi kepemimpinan negara, rekrutmen politik dan sistem kepartaian.
Persoalannya, setelah beberapa kali pelaksanaan Pemilu boleh dibilang kelebihan-kelebihan yang dikira akan menyertai penerapan sistem terbuka hampir tidak terwujud. Pertama, pelaksanaan sistem ini tidak serta merta memberi kekuasaan yang lebih besar kepada rakyat untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat. Sistem terbuka masih disertai oleh manipulasi, terutama pengggunaan politik uang, dalam rangka mempengaruhi preferensi pemilih. Akibatnya sistem ini gagal mendorong dan memperkuat proses demokratisasi seperti yang dibayangkan akan terjadi.
Sebaliknya, Kedua, sistem terbuka ditandai dengan penggunaan politik uang yang semakin marak dan masif. Hampir tidak ada satu pun kandidat yang memenangkan pertarungan yang tidak “merogoh koceknya” untuk memastikan tingkat elektabilitas. Sebagian besar pemilih menentukan pilihannya bukan berdasarkan tawaran-tawaran kebijakan yang konkrit, yang sejalan dengan kepentingan masyarakat banyak; melainkan tergantung pada berbagai macam bentuk imbalan material yang disediakan seorang kandidat.
Ketiga, sistem terbuka juga tidak berhasil membuat partai lebih terbuka dan demokratis. Dalam prakteknya partai tetap dijalankan dengan cara yang cenderung tertutup, hirarkis dan dengan partisipasi yang terbatas.
Dalam konteks ini, mengatakan sistem terbuka lebih baik dibanding sistem tertutup menjadi tidak relevan atau bahkan menyesatkan. Kelemahan-kelemahan yang dianggap melekat pada sistem tertutup adalah persoalan-persoalan yang juga muncul ketika sistem terbuka dipraktekkan. Karena itu menolak sistem tertutup dengan alasan sistem terbuka lebih baik tidak bisa lagi diterima. Sebaliknya, sudah saatnya pertimbangan yang lebih besar dan serius diberikan bagi penerapan kembali sistem tertutup.
Berkenaan dengan itu, beberapa hal berikut ini pantas diperhatikan. Pertama, Indonesia sudah sangat berpengalaman dalam menjalankan sistem ini. Hanya sedikit hal baru yang masih perlu dipelajari dan mesin politik maupun birokrasi yang ada
persoalan. Tapi persoalan yang muncul dalam sistem tertutup mustinya diperbaiki;
bukannya mengganti sistem ini dengan sistem terbuka; apalagi jika sistem terbuka mengidap masalah yang sama.
Kedua, tidak dipungkiri bahwa sistem tertutup cenderung membuat partai menjadi tertutup dan elitis. Tapi dalam kenyataannya sistem terbuka pun melahirkan masalah yang serupa. Lebih parah lagi sistem terbuka memungkinkan siapa saja menjadi kandidat, bukan karena berkualitas dan elektabilitas, tapi selama memiliki sokongan finansial sangat besar. Tidak mengherankan jika dalam sistem terbuka banyak kandidat yang memiliki latar belakang “tidak jelas” bisa tampil dan bahkan terpilih, hanya karena mampu membayar pemilih.
Sebaliknya dengan sistem tertutup, partai akan memiliki mekanisme yang lebih sederhana untuk menyeleksi kandidat. Partai tidak akan asal memilih figur, sekalipun ‘berdarah biru’, apalagi yang tidak memiliki latar belakang ideologi dan visi kebangsaan yang tidak jelas; terutama karena kuatnya pengawasan publik sekalipun dengan sistem tertutup. Sudah tentu kemungkinan terpilihnya kandidat yang tidak berkualitas tetap ada. Tapi ruang pertarungan untuk memilih dan menentukan kandidat jauh lebih terbatas dan karenanya lebih mudah dikelola.
Ketiga, berkaitan dengan itu sistem tertutup jauh lebih efisien baik dari segi pembiayaan pemilu maupun mobilisasi sumberdaya untuk kepentingan kampanye. Tidak ada jaminan praktek politik uang akan berakhir. Tapi sistem ini setidaknya akan membuat praktek tersebut tidak bersifat masif dan meluas.
Keempat, sistem tertutup lebih berpotensi besar mengembalikan hirarki dan disiplin partai. Di satu sisi hirarki dan disiplin tampak bertentangan dengan demokrasi. Di sisi lain, jika melihat nasib sejumlah partai besar yang mengalami perpecahan internal dalam beberapa tahun terakhir, hirarki dan disiplin masih sangat diperlukan. Sebab demokrasi memerlukan partai yang sehat; dan partai yang sehat adalah partai yang tidak dihabiskan waktunya untuk mengurusi perpecahan internal. Artinya dalam jangka pendek mungkin bersifat negatif; tapi dalam jangka panjang hirarki dan disiplin partai sangat bermanfaat bagi keberlanjutan demokrasi.
Masih ada banyak hal lain yang bisa diungkapkan. Tapi karena ruang yang terbatas, kiranya beberapa catatan di atas bisa digunakan sebagai pertimbangan untuk mendorong pelaksanaan sistem pemilu proporsional tertutup.
(*) Penulis adalah Tenaga Ahli FPG DPR-RI 2014-2019, Anggota Departemen Pemenangan Pemilu Jawa II DPP Partai GOLKAR.