Azis Syamsuddin Pimpin Delegasi DPR RI ke Pertemuan Inter-Parliamentary Union
Tidak terasa, hampir setahun kita berada dalam situasi pandemi yang membatasi ruang gerak kita dalam berbagai aspek. Dengan demikian, sudah hampir setahun pula sebagian besar sekolah dan universitas di Indonesia menghentikan pembelajaran tatap muka, dan generasi muda kita harus menyesuaikan diri dengan pembelajaran dari rumah (BDR). Meski Kemendikbud telah memberikan kelonggaran untuk membuka sekolah sesuai kebijakan pemerintah daerah, banyak daerah yang tetap memilih untuk melaksanakan pembelajaran dari rumah karena alasan keselamatan.
Dikarenakan pandemi yang diperkirakan tidak akan berakhir dalam waktu dekat, ini berarti kemungkinan besar mayoritas anak-anak kita akan tetap melaksanakan pembelajaran dari rumah, minimal hingga beberapa bulan ke depan. Oleh karena itu, program-program dukungan terkait pembelajaran dari rumah haruslah tetap dialokasikan, bahkan ditingkatkan berdasarkan masukan dari keberjalanannya selama ini. Mengingat situasi yang sangat dinamis, survey terkait pembelajaran dari rumah harus dilalukan secara berkala, dengan metode yang sesuai kaidah keilmuan, dan hasil yang dapat dijadikan pijakan konkrit bagi pembuatan kebijakan.
Komisi X beberapa kali mengadakan rapat dengar pendapat dengan berbagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan terkait keberjalanan pembelajaran dari rumah. Kemarin, (21/1), kami berkesempatan untuk mengadakan rapat dengan Kabalitbangbuk Kemendikbud beserta beberapa lembaga yang melakukan penelitian terkait pembelajaran dari rumah, seperti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Arus Survei Indonesia (ASI), Komite Perlindungan Anak indonesia (KPAI), serta Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (HIMPAUDI). Dari diskusi tersebut, banyak sekali wawasan yang kami dapatkan terkait keberjalanan BDR, dan menjadi masukan yang sangat kaya bagi pengembangan kebijakan.
Sebagai contoh, SMRC menyoroti tentang kesenjangan akses internet bagi para peserta didik yang berasal dari latar belakang berbeda. Dari penelitian yang dilakukan, akses internet lebih tinggi didapatkan oleh warga yang tinggal di perkotaan, di wilayah DKI dan Banten, berusia lebih muda, berpendidikan lebih tinggi, dan berpendapatan lebih besar. Hal ini menyatakan bahwa ketimpangan pembelajaran antarmurid dar latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda semakin lebar.
Saya mengapresiasi SMRC yang sudah melakukan survey tersebut dengan membagi menurut kategori wilayah, gender, pendapatan, dan lain-lain. Hal ini membuka mata kita atas perbedaan akses yang ada antar tiap kelompok dan kelompok-kelompok mana yang diberikan afirmasi. Akan sangat bermanfaat jika pemangku kebijakan, terutama Kemendikbud bisa mendapatkan data yang lebih mendetail terkait penelitian ini. Misalkan di daerah mana responden-responden tersebut berada, daerah mana yang belum mendapatkan akses, apakah perkotaan/perdesaan, dan lain-lain. Hal ini agar intervensi konkrit bisa difokuskan ke daerah-daerah dengan akses minim tersebut.
Sementara itu, KPAI menyoroti aspek psikologis peserta didik dalam keberjalanan BDR. Dari 1700 responden yang mereka survey, sebanyak 77,8% merasa kesulitan terbesar dalam adalah tugas yang menumpuk. Sedangkan 37,1% responen mengeluhkan waktu pengerjaan tugas yang sempit, sehingga membuat siswa kurang istirahat dan kelelahan. KPAI menyoroti banyaknya siswa yang merasa stres, bahkan sempat terjadi beberapa kasus bunuh diri terkait BDR.
Senada dengan KPAI, HIMPAUDI juga menyampaikan kekhawatirannya tentang aspek sosial psikologis anak. Melalui pembelajaran jarak jauh, pencapaian perkembangan anak tidak optimal terutama pada aspek perkembangan sosial emosional. Hal ini dirasakan oleh 45,5% responden yang mereka survey Sementara, 13,6% lainnya merasa tidak optimal dalam pengajaran nilai agama dan moral. Hal ini dianggap dapat menjadi ancaman bagi masa depan anak bangsa dan sangat jauh dari visi pendidikan Indonesia tahun 2035.
Masukan-masukan ini sangat berharga dan membantu kita memahami fenomena-fenomena dalam BDR ini secara utuh, baik secara kuantitaif maupun kualitatif. Wawasan ini tidak hanya berguna dalam proses pembuatan kebijakan, namun juga untuk mengevaluasi kebijakan dan program yang sedang berlangsung. Sebagai contoh, menurut paparan Balitbang Kemendikbud, mayoritas siswa dan guru telah menerima kuota dari Kemendikbud. ASI menambahkan bahwa 82,9% publik menganggap pemberian kuota gratis ini sangat membantu dalam keberjalanan BDR. Ini merupakan sesuatu yang patut diapresiasi, dan menunjukkan bahwa arah kebijakan tersebut sudah benar. Kedepannya, perlu diteliti lebih lanjut terkait mereka yang belum menerima bantuan. Apa alasannya? Bagaimana persebaran demografinya? Dan lain-lain. Dengan ini, pemerintah dapat mengetahui bagaimana cara terbaik untuk menjangkau mereka dan mengoptimalkan program yang sudah ada.
Kami juga ingin menyoroti metode yang digunakan dalam survey. Para lembaga melakukan penelitian dengan berbagai metode, diantaranya telepon, SMS, media sosial, tautan, dan lain-lain. Pemilihan sampelpun dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Saya hanya ingin mengingatkan agar pengambilan sampel dilakukan dengan serepresentatif mungkin, dan meminimalisir bias yang ada. Sebagai contoh, Kemendikbud mengirimkan SMS berisi tautan kepada mereka yang nomor telepon selulernya terdaftar di Dapodik. Ada kemungkinan, mereka yang mengisi survey adalah orang-orang yang setidaknya memiliki akses kepada gawai dan internet. Jika itu yang terjadi, kemungkinan mereka yang tidak memiliki akses terhadap keduanya tidak terepresentasikan. Ke depan, saya harap Kemendikbud dan pihak-pihak terkait dapat lebih memikirkan metode yang dapat lebih merepresentasikan mereka yang marjinal, karena mereka justru target utama program-program afirmasi kita. Tentu, hal ini bukanlah hal yang mudah dan memiliki tantangan tersendiri di masa pandemi.
Kedepannya, saya berharap seluruh elemen masyarakat untuk bahu-membahu dalam membantu proses formulasi kebijakan yang lebih baik. Kita dapat sama-sama sampaikan ke pemerintah, apa saja kira-kira data yang belum ada dan perlu digali kembali. Saya sangat mengharapkan organisasi-organisasi yang ada di masyarakat bisa turut berperan, karena masalah yang kita hadapi tidak sederhana. Perlu kolaborasi yang erat agar dunia pendidikan dapat melalui pandemi ini dengan baik, dan generasi muda dapat terlindung dari potensi dampak buruk yang dapat terjadi.
Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP
Wakil Ketua Komisi X DPR RI