Breaking News :

Benahi Strategi Industrialisasi

Benahi Strategi Industrialisasi

Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai pertumbuhan ekonomi beberapa waktu lalu pantas membuat kita khawatir. Bagaimana tidak, pertumbuhan ekonomi nasional kuartal I/2015 hanya 4,71 persen, melambat dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 5,14 persen. Hal yang lebih mengkhawatirkan, di balik kinerja perekonomian tersebut adalah pertumbuhan ekonomi sektor industri pengolahan (manufaktur) lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi sektor industri manufaktur pada kuartal pertama tahun ini hanya 3,87 persen dibanding periode yang sama 2014 sebesar 4,52 persen.

Dampak pertumbuhan sektor industri yang lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi tersebut menjadikan kontribusi (share) sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin mengecil. Bila pada kuartal I/2014 share industri manufaktur terhadap PDB mencapai 21,21 persen, pada kuartal pertama tahun ini menjadi 21,14 persen. Gejala ini menunjukkan transformasi ekonomi (dari sektor primer ke sekunder) mengalami kemandekan, bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran atau yang lebih dikenal dengan sebutan deindustrialisasi.

Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan sektor industri, kinerja ekspor hasil industri pengolahan juga menurun. Menurut BPS, nilai ekspor hasil industri pengolahan pada kuartal I/2015 mencapai US$ 26.921,6 juta, turun 8 persen dibanding periode yang sama 2014 senilai US$ 29.262,2 juta. Gejala ini bisa dikatakan sebagai petunjuk bahwa daya saing industri nasional kian lemah.

Persoalan deindustrialisasi dan rendahnya daya saing tersebut sesungguhnya menggambarkan bahwa ada yang tidak beres dengan industri nasional. Karena itu, pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk membenahi industri nasional.

Belajar dari Korsel
Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, pada 1950-an perekonomian Korea Selatan (Korsel) ditandai dengan kebijakan yang berorientasi domestik atau mengarahkan industri domestiknya menjadi sekadar pengganti produk industri impor. Pilihan kebijakan ini dikenal dengan sebutan strategi industri subsitusi impor. Dampaknya, perekonomian Korsel terjebak dalam tingkat pertumbuhan rendah. Pada 1954-1959 perekonomian Korsel tumbuh di bawah 5 persen.

Karena itu, pada awal 1960-an pemerintah Korsel mengubah strategi industrialisasinya, dari subsitusi impor menjadi promosi ekspor (outward oriented). Strategi ini dijalankan bersamaan dengan upaya penguatan keunggulan komparatif berupa intervensi pemerintah dalam menurunkan ongkos produksi (high cost economy). Hal ini antara lain dengan pembangunan infrastruktur, pelatihan sumber daya manusia (SDM), serta upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif.

Kebijakan ekonomi tersebut menjadikan Korsel sebagai negara yang mencapai suatu tingkat efisiensi perekonomian. Keberhasilan industrialisasi yang dicapai Korsel tidak hanya dilihat dari indikator makroekonomi seperti pertumbuhan PDB, tetapi juga prestasi yang ditorehkan perusahaan-perusahaan negara tersebut. Perusahaan ini tidak hanya perkasa di negerinya sendiri, tetapi juga mampu menjadi pemain utama di pasar global. Hebatnya, produk-produk made in Korsel, seperti produk perkapalan, otomotif, semikonduktor, elektronika, hingga petrokimia dapat diterima pasar mancanegara bukan karena harganya yang miring, melainkan kualitas produk yang prima.

Dalam menjalankan strategi industrialisasi, Korsel melaksanakan tiga paket kebijakan. Pertama, proteksi terhadap jenis-jenis industri tertentu. Restriksi impor terhadap produk yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri, misalnya produk industri permesinan terus dilakukan.

Kedua, pembatasan dalam perizinan dan ekspansi kapasitas pada industri atau subsektor industri tertentu yang pemainnya terlalu banyak agar tingkat produksi optimal dapat dicapai. Pemerintah Korsel melakukan intervensi kebijakan dalam bentuk pengaturan usaha (merger), peleburan kapasitas (capacity scapping), dan pembagian pangsa pasar (market-sharing arranggements). Dalam pembagian pangsa pasar, segmentasi pasar diatur sedemikian rupa sehingga tidak tumpang-tindih.

Ketiga, pencabutan proteksi dan hak-hak istimewa atas unit-unit industri yang dianggap penikmat dan pemupuk rente ekonomi. Pemerintah Korsel melakukan intervensi dengan menutup atau memerintahkan penggabungan (merger) unit-unit industri dalam kategori ini yang dianggap tidak efisien dan merugikan masyarakat. Bersamaan dengan upaya ini, spesialisasi dan kontrol harga produk yang diproduksi dilaksanakan.

Ketiga paket kebijakan tersebut dilakukan dalam lingkungan kebijakan makroekonomi yang berorientasi pada investment management, bukan aggregate demand management. Karena itu, pemerintah Korsel juga memberlakukan kebijakan makroekonomi. Pertama, pemberian subsidi kredit kepada industri-industri substitusi impor yang menggunakan bahan-bahan dalam negeri.

Kedua, penjatahan penggunaan devisa, walaupun pada dasarnya Korsel adalah negara yang menganut sistem devisa bebas. Implementasi kebijakan ini salah satunya adalah impor barang-barang tertentu dan barang-barang konsumsi mewah tidak dibiayai sistem perbankan nasional.

Ketiga, perbankan pemerintah (bank BUMN) yang mendominasi kredit dilarang memberi kredit konsumsi untuk mendorong masyarakat memiliki pola konsumsi yang sehat. Keempat, kebijakan moneter dalam pengendalian jumlah uang beredar pada kasus-kasus tertentu disubordinasikan terhadap kepentingan-kepentingan yang lebih utama. Misalnya, saat ada kebijakan pembatasan kredit, kebijakan tersebut tidak berlaku bagi industri-industri tertentu yang diprioritaskan.

Serangkaian kebijakan makroekonomi tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa mekanisme pasar bebas tidak dapat sepenuhnya diandalkan dalam penentuan pengalokasian investasi di sektor industri, terutama pada industri-industri yang diprioritaskan.

Keseluruhan kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik karena ditopang kelembagaan pemerintah yang kuat dan berani menegakkan peraturan. Pemerintah Korsel tidak goyah oleh tekanan-tekanan dari kelompok kepentingan mana pun.

Keberhasilan Korsel dalam membangun industri nasionalnya tentunya membuat kagum negara-negara lain, termasuk Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat penandatanganan MoU antara KPK dan beberapa kementerian/lembaga (Kamis, 19/3), membandingkan perekonomian Indonesia dan Korsel. Menurut Presiden Jokowi, pada 1967 PDB Korsel US$ 4,7 miliar, sedangkan Indonesia lebih tinggi yakni US$ 5,9 miliar. Namun saat ini, Korsel maju pesat ekonominya, demikian juga angka PDB-nya. Menurut Bank Dunia, PDB Korsel saat ini sekitar US$ 1,3 triliun, sedangkan Indonesia sekitar US$ 868 miliar. Padahal bila dibanding Indonesia, Korsel tidak memiliki keunggulan sumber daya alam.

Apa yang diungkapkan Presiden Jokowi secara tidak langsung mengatakan bahwa seharusnya kita bisa belajar dari pengalaman Korsel. Meski tidak harus menjiplak strategi industrialisasi Korsel, minimal keberhasilan Korsel dalam memajukan perekonomian negaranya dapat memberi inspirasi bagi Indonesia.

Penulis adalah pengamat ekonomi dan kebijakan publik.

Sumber : Sinar Harapan

0 Reviews

Write a Review

Read Previous

Kawasan Transmigrasi sebagai Pusat Pertumbuhan

Read Next

Regenerasi Golkar