Azis Syamsuddin Pimpin Delegasi DPR RI ke Pertemuan Inter-Parliamentary Union
Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Golkar menggelar Diskusi Politik dengan tema “Pemilu 2019, Evaluasi dan Solusi” di Aula kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (24/10/2019).
Ketua Umum Partai Golkar, melalui Sekretaris Jenderal Golkar, Lodewijk Freidrich Paulus mengatakan kegiatan tersebut diselenggarakan sebagai rangakaian Perayaan Hari Uang Tahun (HUT) Ke-55 Partai Golkar yang puncaknya akan diarayakan pada tanggal 28 Oktober mendatang.
“Saya memberikan apresiasi atas penyelenggaraan Diskusi Politik ini, apalagi kalau dapat menghasilkan pikiran-pikiran cemerlang dalam rangka pemantapan penyelenggaraan pemilu dan sistem demokrasi di Indonesia,” kata Lodewijk dalam sambutannya.
Menurut Lodewijk, penyelenggaran Pemilu 2019 perlu dievaluasi sebagai sebuah acuan untuk mengahadapi pemilu 2024 mendatang. Meskipun, penyelenggaraan pemilihan umum serentak untuk pertama kalinya dilaksanakan 2019 lalu yaitu pemillu legislatif serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam waktu bersama yang sukses ini patut disyukuri.
“Keberhasilan ini merupakan bukti bahwa kita telah melangkah maju melaksanakan demokrasi yang semakin matang. Kita patut berbangga karena Indonesia tumbuh menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia,” katanya.
Hal yang disoroti Golkar pada pemilu 2019 adalah jumlah partai politik serta efisiensi dalam penggunaan anggaran pemilu yang dia anggap menean biaya yang besar.
“Alih-alih menghemat anggaran, pemilu serentak justru menelan biaya yang lebih mahal dari pemilu terpisah. Anggaran Pemilu 2019 mencapai Rp. 24,8 triliyun naik 3 % dibanding Pemilu 2014 sebesar 24,1 triliyun,” katanya.
Disisi lain, Pemilu serentak juga memakan waktu yang panjang dan melelahkan sehingga melahirkan banyak korban yang meninggal. Menurut data KPU korban yang meninggal sebanyak 144 orang sedangkan yang sakit 883 orang. Sementara itu, tujuan untuk memperkuat sistem presidensiil tidak terjadi karena partai-partai pengusung pasangan Capres dan Cawapres yang menang tidak mendapat dampak ekor-jas atau coattail effect dari paslon yang diusungnya.
“Persaingan yang tajam selama Pilpres juga telah membelah masyarakat menjadi dua kelompok yang saling berhadapan. Munculnya politik identitas berbasis agama ditambah pengaruh media sosial semakin menambah sengit persaingan untuk memperebutkan dukungan rakyat. Sehingga sangat mengkhawatirkan bagi persatuan dan keutuhan bangsa,” tegasnya.
Tetapi yang cukup menggembirakan dari pemilu serentak adalah partisipasi pemilih yang meningkat cukup signifikan, sehingga memperkuat legitimasi bagi para wakil rakyat serta Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih secara demokratis dalam pemilu.
Selanjutnya, dia menyoroti soal penerapan sistem proporsional terbuka dalam pemilu. Menurut dia, kita pernah melaksanakan sistem proporsional tertutup. Perubahan dari tertutup ke terbuka diharapkan agar para anggota legislatif yang terpilih mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan konstituennya, sehingga aspirasi dan kepentingan rakyat dapat diperjuangkan dengan baik.
Tujuan tersebut belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Yang terjadi adalah semakin merebaknya budaya pragmatisme politik dalam masyarakat. Urusan memilih bergeser dari pertimbangan kualitatif menjadi pertimbangan yang bersifat transaksional.
“Keadaan semacam ini sangat merisaukan karena dapat menurunkan kualitas demokrasi kita. Partai Golkar berpandangan kiranya perlu dilakukan semacam evaluasi atas penyelenggaraan pemilu serentak dan sistem pemilu legilastif itu sendiri,” pungkasnya.
Sehingga dia beraharap, diskusi politik dapat membedah permasalahan secara mendalam sehingga ditemukan solusi untuk menjamin semakin kokohnya sistem demokrasi, serta semakin mantapnya penerapan sistem presidensiil dan terciptanya sistem multi partai yang lebih sederhana.
“Saya berharap dari diskusi politik ini akan lahir semacam rekomendasi mengenai perlunya dilakukan perubahan atau penyempurnaan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dengan demikian kita semakin optimis bahwa dengan demokrasi yang semakin matang akan mengantarkan bangsa Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045 nanti,” harapnya.
Hadir sebagai pembicara daam diskusi ini antara lain, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva, Direktur Perludiem, Titi Anggraini, Burhanudin Muhtadi, Muh Nurhasim, peneliti LIPI.
Diskusi ini turut dihadiri sejumlah politisi Golkar antara lain Azis Syamsudin yang juga Wakil Ketua DPR, Meutya Hafid, Yahya Zaini. Hadir pula ormas sayap Golkar dan tenaga ahi fraksi Golkar.