Breaking News :

Dunia Pendidikan Di Tengah Wabah Corona

Oleh: Dr.Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP

Keberhasilan suatu negara menangani Pandemi Covid-19 sangat tergantung pada proses edukasi yang berlangsung bagi masyarakat luas. Jika masyarakat mendapatkan edukasi yang baik dan komprehensif mengenai virus tersebut, kemungkinan besar penyebarannya dapat segera dihentikan. Sebaliknya, jika masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup, bahkan percaya dengan berita bohong yang bertebaran, usaha penangananpun bisa terhambat secara signifikan.

Dalam hal ini, satuan pendidikan berperan penting dalam proses edukasi bagi anak-anak maupun orang tua. Dengan banyak beredarnya informasi-informasi yang tidak jelas kebenarannya, satuan pendidikan dapat menjadi corong bagi penyebaran informasi yang akurat. Sekolah, universitas, beserta para pendidik dapat menjadi pihak yang memilah-milah pengetahuan serta ikut menjadi agen yang mensosialisasikan apa yang harus dilakukan oleh masyarakat.

Di sisi lain, terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana satuan pendidikan harus beroperasi di kondisi seperti saat ini. Sebagian berpendapat sekolah perlu diliburkan, sebagian lagi tidak menyetujuinya dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah anak dianggap memiliki sistem ketahanan tubuh yang masih kuat dan tidak terkena Corona. Meski demikian, menurut saya, jalan yang paling aman harus kita ambil untuk generasi muda kita. Lebih baik mengantisipasi secara berlebihan, daripada kekurangan dan mengakibatkan melayangnya nyawa.

Kita harus melindungi dan memastikan anak-anak kita tetap sehat dan aman di tengah pandemi. Apalagi, meski berbadan sehat, anak-anak tetap bisa menjadi carrier dan menyebarkan virus ke orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, sekolah haruslah diliburkan. Minimal, pada daerah-daerah yang sudah memiliki kasus Corona. Pemerintah daerahlah yang paling berwenang untuk memutuskan.

Kegiatan bersekolah tidak sesuai dengan kebijakan pembatasan sosial yang telah diimbau oleh pemerintah. Hal ini juga berlaku untuk ujian nasional. Penyelenggaraan ujian yang mengumpulkan banyak orang di skala nasional tentu sangat berpotensi memperluas penyebaran wabah. Belum lagi ditambah rantai perjalanan manusia yang harus dilakukan untuk mendistribusikan soal. Kebijakan ini juga bukan kebijakan yang dapat dibedakan per daerah karena dapat menimbulkan ketidakadilan. Oleh karena itu, dengan berat hati, ujian nasional tahun ini harus dibatalkan, demi menghindari mudarat yang lebih besar.

Tentu, kebijakan ini menimbulkan banyak pertanyaan serta pro dan kontra. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana kita dapat mengevaluasi hasil belajar siswa? Sebenarnya, terdapat banyak opsi untuk melakukan ini. Antara lain adalah melalui ujian sekolah yang dilaksanakan secara daring, nilai rapot di semester-semester sebelumnya, maupun melalui proyek-proyek kecil. Yang jelas, hal ini akan diserahkan sepenuhnya ke sekolah, mengingat sekolah adalah yang paling mengerti keadaan siswanya, dan metode apa yang terbaik untuk menilai kualitas pembelajaran.

Beberapa tahun belakangan, ujian nasional sudah tidak digunakan untuk menentukan kelulusan. Ujian nasional hanya digunakan untuk memetakan kualitas pembelajaran secara nasional. Oleh karena itu, kebijakan tahun ini sejatinya tidak berpengaruh pada penentuan kelulusan. Meski demikian, tentu banyak pihak menyayangkan ketiadaan pemetaan kualitas pendidikan tahun ini sebagai imbas dari dihapuskannya ujian nasional. Untuk hal itu, saya sendiripun menyayangkannya, mengingat besar dan kayanya data yang bisa kita dapatkan melalui ujian nasional.

Idealnya, evaluasi nasional memang dilakukan secara berkala. Namun demikian, saat ini kita berada di kondisi yang tidak ideal. Tentu, kebijakan yang diambilpun bukanlah kebijakan yang ideal. Sekali lagi, kebijakan ini dengan berat hati harus kita ambil demi menghindari mudarat yang lebih besar. Tahun depan, saya harap kita dapat kembali lagi melakukan pemetaan berkala terhadap sistem pendidikan nasional, melalui sistem baru yang semoga lebih efektif; asesmen kompetensi dan survey karakter.

Selain mekanisme evaluasi, proses belajar mengajar juga tentu terpengaruh dengan adanya wabah Corona. Ribuan siswa di berbagai daerah di Indonesia saat ini terpaksa harus melakukan pembelajaran dari rumah. Hal itu dilaksanakan secara daring, baik melalui sistem pemerintah maupun organisasi-organisasi mitra. Dalam pelaksanaanya, hal ini membawa berbagai macam permasalahannya tersendiri.

Ketimpangan antar-sekolah dan tenaga pengajar menimbulkan kesenjangan dalam proses ini. Sekolah-sekolah berkualitas baik dengan tenaga pengajar yang mumpuni tentu tidak mengalami kendala yang terlalu berarti. Sebaliknya, sekolah-sekolah yang belum memiliki kualitas yang sama mengalami banyak kesulitan. Antara lain, tenaga pengajar yang kebingungan dalam penerapan proses baru ini.

Kesenjangan sosial dan ekonomi sangat terasa dalam hal ini. Siswa yang tidak memiliki akses internet rentan mengalami ketertinggalan dalam proses belajar mengajar. Untuk mereka yang memiliki aksespun, banyak yang mengeluh karena mahalnya kuota yang harus digunakan untuk mengakses konten-konten pembelajaran. Dari laporan di lapangan, kegiatan belajar mengajar secara daring sangat berpotensi memperluas jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin.

Selain itu, kondisi keluarga dan orang tua sangat berpengaruh dalam proses ini. Anak-anak yang memiliki orangtua terpelajar dan memiliki kepedulian tinggi terhadap pendidikan, dapat meraup manfaat yang optimal meski kegiatan belajar mengajar tidak dilakukan seperti biasa. Orangtua mereka dapat membantu kelancaran kegiatan tersebut, mulai dari menerapkan kedisiplinan, menggantikan guru mengajar, hingga membantu pelaksanaan tugas-tugas. Namun demikian, untuk anak-anak yang kurang beruntung, kegiatan belajar mengajar seringkali tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

Dari pantauan di lapangan, banyak orangtua yang kebingungan dengan dirumahkannya anak-anak mereka. Anak-anak yang biasa diserahkan kepada sekolah dalam waktu yang signifikan setiap harinya, kini harus dua puluh empat jam dibawah pengawasan. Hal ini terutama menyulitkan bagi orangtua yang keduanya bekerja. Sebagai dampaknya, banyak anak-anak yang justru ditemukan berkeliaran di sekitar rumah, tanpa menjalani proses belajar mengajar. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang justru diajak berlibur oleh orangtua. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan tujuan peliburan dari pemerintah, yaitu menghindari kerumunan dan penyebaran virus ke area yang lebih luas.

Selama ini, kami dari Komisi X DPR RI telah mendorong pemerintah khususnya Kemendikbud untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di lapangan. Salah satunya adalah dengan mengarusutamakan pendidikan keorangtuaan (parenting) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan ini. Hingga saat ini, kami mengapresiasi Kemendikbud yang telah memasukkan materi-materi parenting ke dalam konten Rumah Belajar. Kedepannya, hal ini harus terus disosialisasikan dan disebarkan melalui kanal-kanal lainnya.

Selain orangtua, guru dan tenaga pengajar juga harus menjadi prioritas dalam pemberian program peningkatan kapasitas. Tidak semua tenaga pengajar familiar dengan bentuk pembelajaran daring, dan merupakan tugas pemerintah untuk memberikan pelatihan tersebut. Mulai dari menyiapkan rencana pembelajaran, memilih metode pengajaran, hingga ke tahap evaluasi. Oleh karena itu, juknis terstandar perlu diterbitkan, sehingga tenaga pengajar tahu dengan pasti apa yang harus dilakukan. Tambahan konten-konten yang berisi tips dan trik melaksanakan pembelajaran jauh juga akan sangat membantu, diluar sesi-sesi serupa yang diadakan oleh berbagai kelompok masyarakat dan asosiasi guru.

Berbagai program yang dapat mempersempit ketimpangan juga telah diluncurkan. Salah satu contohnya adalah dengan bekerjasama dengan TVRI dan RRI untuk menyiarkan konten-konten pembelajaran, yang juga merupakan usulan dari Komisi X DPR RI. Dengan adanya dua kanal ini, masyarakat yang memiliki keterbatasan akses internet tetap dapat mengakses pembelajaran yang sudah dijadwalkan di kedua stasiun tersebut.

Saya sangat terharu ketika mendengar pengakuan seorang guru yang rata-rata siswanya berasal dari latar belakang ekonomi rendah. Orangtua mereka banyak yang bekerja sebagai petani atau pekebun, dan seringkali anak-anak harus ikut membantu, yang membuat mereka sulit melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Dengan adanya siaran pembelajaran dari RRI, banyak dari mereka yang membawa radio ke ladang maupun hutan, dan mendengarkan materi-materi yang disiarkan sambil bekerja.

Selain itu, sebagai upaya meningkatkan inklusivitas, kerjasama dengan berbagai penyedia layanan internet sudah dilakukan untuk meringankan biaya kuota yang digunakan untuk pembelajaran. Dengan adanya Permendikbud no. 19 dan 20 tahun 2020, sebagian dari dana BOS dapat digunakan oleh sekolah untuk mensubsidi kuota pembelajaran daring, baik untuk siswa maupun guru. Hal tersebut sangat membantu, mengingat kebutuhan akan kuota untuk pembelajaran tidaklah sedikit.

Dalam jangka panjang, Kemendikbud harus secara aktif berkoordinasi dengan Kemenkominfo untuk semakin memperluas jangkauan konektivitas internet di seluruh pelosok Indonesia. Tidak boleh ada anak bangsa yang tertinggal dalam proses ini, dan negara harus hadir dalam memberikan pendidikan berkualitas bagi tiap-tiap anak Indonesia.

Dengan ditiadakannya ujian nasional, terdapat sisa anggaran yang cukup besar. Kemendikbud mengajukan anggaran tersebut untuk direalokasikan bagi penanganan wabah Covid-19. Selain dari anggaran UN, anggaran juga direalokasikan dari beberapa pos lain, seperti efisiensi perjalanan dinas, dan penundaan program-program yang kurang mendesak. Total realokasi anggaran yang diajukan sebesar Rp. 405 M.

Kami dari komisi X DPR RI sangat mendukung langkah tersebut. Saat ini, seluruh elemen bangsa harus bahu membahu melawan penyebaran virus Corona, tak terkecuali dunia pendidikan. Dari realokasi anggaran yang diajukan, jumlah paling besar diajukan untuk Peningkatan Kapasitas dan kapabilitas Rumah Sakit Pendidikan. Antara lain untuk menyiapkan 13 RS Pendidikan Rujukan dan 13 Fakultas Kedokteran, untuk menjadi Test Center Covid-19.

Selain itu, juga untuk meningkatkan kapasitas RS Pendidikan untuk menampung dan menangani pasien Covid-19, serta meningkatkan kapabilitas SDM RS Pendidikan dan FK terkait testing dan penanganan pasien Covid-1. Hal ini, jika terlaksana dengan baik, tentu dampaknya akan menjadi sangat signifikan. Mengingat, saat ini jumlah rumah sakit dan tenaga medis yang dapat menangani Covid-19 sangat terbatas, sedangkan jumlah pasien terus bertambah.

Selain itu, Kemendikbud juga tetap menyelenggarakan fungsi pendidikannya. Puluhan milyar diajukan untuk mobilisasi mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan sebagai relawan, yang nantinya akan ditugaskan memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat. Tak disangka, animo masyarakat sangat besar.

Hingga saat ini, tercatat sudah 15.000 orang relawan yang dimobilisasikan. Diklat-diklat telah diselenggarakan untuk melatih para relawan, dengan pemateri yang berasal dari WHO dan institusi-institusi kredibel lainnya. Selain itu, mereka juga dibekali ilmu untuk melakukan Triage, Tracking dan Testing virus Covid-19. Mobilisasi SDM ini sangat mendesak dilakukan di tengah kurangnya sumber daya manusia di bidang kesehatan. Mahasiswapun dapat melaksanakan peran penting tridharma perguruan tinggi, dan berkontribusi aktif menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Tentunya, pembelajaran yang akan didapat tidak ternilai harganya.

Wabah Covid-19 ini dapat dibilang menjadi shock bagi dunia pendidikan di Indonesia. Banyak hal yang mau tidak mau berjalan tidak ideal, dan kita dipaksa melakukan hal-hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Meski demikian, momentum ini dapat kita gunakan sebagai momen untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional. Kita harus menyusun strategi baru dengan perkembangan global yang terjadi, dan mempersiapkan diri untuk ancaman-ancaman yang mungkin hadir di masa depan.

Virus ini telah memaksa kita untuk menggunakan teknologi dalam proses belajar mengajar. Apa yang tadinya tidak bisa, menjadi harus bisa. Hal-hal yang belum tereksplorasi, terpaksa harus kita jelajahi. Disini juga, kita menjadi menyadari pentingnya akses dan sarana prasarana dalam menunjang sistem pendidikan nasional.

Seluruh stakeholder pendidikan, mulai dari siswa, guru, orangtua murid, pemda, dan kementerian harus berpikir out of the box dan keluar dari zona nyaman. Momen ini akan memperlihatkan, apakah kita mampu melalui ini semua dengan segala keterbatasan yang ada.

Saya percaya, bahwa Indonesia adalah bangsa pejuang. Tak terkecuali mereka-mereka yang bergerak di bidang pendidikan. Saya sangat yakin, jika kita berusaha berbuat yang terbaik, serta terus bergandengan tangan, kita dapat mengatasi segala tantangan yang ada, dan memberikan yang terbaik bagi generasi penerus kita. Jadikan musibah ini sebagai titik balik transformasi sistem pendidikan nasional, dimana dunia pendidikan Indonesia dapat melesat mencapai potensi terbaiknya.
Mari bersama percepat pendidikan merata dan berkualitas. Selamat Hari Pendidikan Nasional 2020.

0 Reviews

Write a Review

Read Previous

Hetifah Tegaskan Wewenang Pemda dalam Hibah Pendidikan

Read Next

DPR Imbau Pemerintah dan Regulator Pantau Likuditas Perbankan