Azis Syamsuddin Pimpin Delegasi DPR RI ke Pertemuan Inter-Parliamentary Union
Tak dapat disangkal, perempuan memang sering menghadapi tantangan. Terutama dalam menjalankan peran ganda di dalam kehidupannya sehari-hari. Perubahan budaya dan teknologi telah menawarkan peluang bagi perempuan untuk mengejar impian dan menggali potensi.
Namanya Meutya Hafid, sejak kecil ia terbiasa hidup berpindah-pindah sebab sang ayah seorang dosen yang bertugas di berbagai daerah. Sehingga Meutya sempat tinggal di Bogor, Bandung dan Sulawesi Selatan.
“Dari kecil saya pindah-pindah tinggalnya, ayah saya dosen jadi sempat di Bogor, Bandung, dan Sulawesi Selatan karena beliau pernah mengajar di sana juga. Lalu waktu lulus SMP, saya dapat beasiswa dari Pemerintah Singapura,” ucap Meutya.
Kompetisi di Singapura kata Meutya, luar biasa. “Jadi dulu, saya binggung, kenapa orang pada buka buku kayaknya belum ada ujian. Saya tanya teman saya, lalu dia (teman) bilang nanti dua minggu lagi ujian. Saya belajar, begadang sampai jam dua pagi, karena mereka begitu semua. Jadi memang sesama penerima beasiswa itu sangat kompetitif,”ungkapnya.
Hidup sendiri di Singapura membuat Meutya semakin hidup mandiri. Rasa rindu kepada keluarga pun tak dapat dibendung.
“Waktu disana ya nangis-nangis terus, jauh dari orangtua, belajarnya begini banget. Dulu pakai telepon jatah saya cuma lima dollar seminggu, bisa menelepon tiga menit,” ucapnya.
Kemudian Meutya kembali mendapatkan beasiswa, kali ini dari Kemenristek yang masa itu dipimpin B.J Habibie untuk berkuliah di University of New South Wales, Australia, Jurusan Engineering.
Setelah menyelesaikan kuliahnya di Australia, Meutya memutuskan untuk kembali ke tanah air Indonesia dan menjadi reporter di salah satu stasiun televisi swasta. Dalam menjalani tugas jurnalistik, pengalaman suka dan duka pun ia alami.
“Saya kembali ke Indonesia karena saya tidak ingin cari kerja di luar negeri. Saya ingin melihat bagaimana proses reformasi terjadi. Memang waktu itu setelah lulus kuliah, saya bertekad pulang bahkan sebelum resmi wisuda. Setelah selesai ujian, saya pulang ke Indonesia dan mendaftar kerja ke salah satu TV berita,” katanya.
Perempuan kelahiran Bandung ini mengatakan pada tahun 2005, ia diutus oleh atasannya untuk meliput pemilu di Irak bersama dengan satu juru kamera bernama Budiyanto.
Ternyata kepergiannya ke Irak saat itu membuahkan sebuah cerita yang sulit dilupakan oleh dirinya dan Budiyanto.
Meutya dan Budiyanto sempat diculik dan disandera oleh sekelompok tentara Mujahidin bersenjata di Irak, selama 168 jam dan beruntung mereka dapat selamat. “Rahasia Allah, rahasia Tuhan, kita bisa bebas,” ucapnya.
Pada tahun 2007, Meutya pun membuat buku dengan judul 168 Jam dalam Sandera; Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak. Ia juga terpilih sebagai pemenang Penghargaan Jurnalistik Elizabeth O’Neill dari pemerintah Australia disusul Australian Alumni Award for Journalism and Media.
“Buku ini saya dedikasikan untuk profesi kewartawanan yang telah membawa beribu warna dalam hidup saya. Semoga menjadi semangat bagi teman-teman wartawan dan teman-teman yang ingin bergabung dengan profesi ini. Juga rekan seprofesi yang gugur dalam liputan demi menyampaikan informasi. Semoga bangsa ini dapat lebih menghargai dan menyadari betapa dua menit paket berita televisi ataupun satu kolom di koran terkadang risikonya nyawa,” kata Meutya.
Tak terasa hampir 10 tahun juga Meutya menjadi jurnalis. Kemudian ia ditawari untuk masuk politik.
“Waktu itu undang-undang tentang 30 persen perempuan juga belum lama diterapkan sehingga partai secara sadar mencari perempuan-perempuan yang dapat dijadikan sebagai kader-kader politik. Kebetulan saya diundang, waktu itu saya rasa itu kesempatan yang langka padahal saya tak terbayang sebelumnya mau jadi politisi,” ucapnya.
Meutya mengaku diawal ia menjadi anggota DPR RI, ia membutuhkan waktu satu tahun untuk mempelajari sistem kerjanya.
“Karena memang ini tergantung kepada kita sendiri bagaimana kita membentuk sistem kerja yang baik makanya kita perlu tim sebagai anggota DPR untuk sistem kerja yang baik,” katanya.
“Saya terbiasa kerja cepat ketika jadi jurnalis tapi ketika DPR itu prosesnya cukup alot. Memerlukan kesabaran, kompromi yang memakan waktu dan pikiran,” ujar
Meutya.
Arti sebuah kesuksesan, kata Meutya, bisa bekerja dengan baik dan bermanfaat. “Kalau misalnya diukur dari jabatan itu bukan kesuksesan, semua orang bisa. Jabatan itu relatif. Sukses itu bisa bekerja dengan baik dan bermanfaat untuk orang. Tips sukses itu kerja saja,” katanya.
Dorong IKM (Industri Kecil Menengah)
Diakui Meutya Hafid, saat ini keadaan Perempuan Indonesia masih memiliki kesenjangan.
“Perempuan di Indonesia ini ada kesenjakan antara kelompok perempuan, dari satu sisi, ada yang luar biasa. Dari sisi partisipasi baik di politik dan perusahan sudah banyak yang memimpin perempuan begitu juga di pemerintahan sudah cukup lumayan,”ucapnya.
Ia mengatakan meskipun hal itu belum tercapai 30 persen. Tapi disisi lain, masih banyak juga perempuan yang berhadapan dengan KDRT, nikah muda terlalu dini.
“Masalah perempuan itu masih sangat bervariasi di Indonesia karena memang dari satu daerah ke daerah lain ada kesenjangan. Ada yang sudah maju, ada yang masih berhadapan dengan KDRT, makanya kita dorong terus program peningkatan kesejahteraan melalui program perempuan misalnya program keluarga harapan yang menyasar perempuan,” ujarnya.
Tak lupa, ia juga mendorong IKM (Industri Kecil Menengah) yang diarahkan lebih banyak kepada perempuan, sehingga ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
“Akan stabil antara perempuan dan laki-laki. Ada rumah tangga dimana ada peran yang seimbang antara bapak dan ibu, menjadi keluarga yang bagus. Negara juga seperti itu, ada perimbangan partisipasi dari laki-laki dan perempuan,” kata Meutya.
Ia berpesan agar setiap perempuan harus percaya diri dan aktif mengambil peran dalam masyarakat. “Kita harus percaya diri, karena saya merasa tantangan terbesar perempuan itu adalah meningkatkan kepercayaan dirinya.
Kita harus percaya kita bisa, dan dengan kita mencoba, berusaha, beriktiar, pasti bisa, karena memang kesempatan itu luas,”ujar Meutya.
Biofile:
Nama: Meutya Hafid
Tempat Tanggal Lahir: Bandung, 3 Mei 1978
Pendidikan:
-Crescent Girl School Singapore
-S1, Engineering, University of New South Wales, Australia
Karier:
-Public relations officer and announcer at Eastside Radio in Sydney
-Jurnalis
-Anggota DPR RI, 2010-2014, 2014-2019
Penghargaan:
-Jurnalistik Elizabeth O’Neill, dari Pemerintah Australia (2007)
-Australian Award for Journalism and Media (2008)
Suami: Noer Fajrieansyah
Orangtua :
Anwar Hafid dan Metty Hafid
Tribunnews