Azis Syamsuddin Pimpin Delegasi DPR RI ke Pertemuan Inter-Parliamentary Union
Jakarta – Kelahiran Undang-undang (UU) Pemajuan Kebudayaan pada 27 April 2017 membawa harapan besar akan adanya penguatan pengelolaan kebudayaan di Indonesia. Berbeda dengan naskah RUU Kebudayaan sebelumnya yang memberikan negara kewenangan cenderung otoriter, UU Pemajuan Kebudayaan menempatkan negara sebagai fasilitator bagi masyarakat dalam memajukan seni dan budayanya sendiri melalui proses yang partisipatif.
“UU ini adalah pijakan kita dalam memajukan kebudayaan sebagai modal dasar pembangunan manusia Indonesia. Tapi, kerja kita tidak selesai saat UU diundangkan setelah proses advokasi bertahun-tahun,” ujar Ketua Pengurus Koalisi Seni Indonesia, M. Abduh Aziz, 25 Juni 2019.
Menurutnya, justru pengawalan harus dilakukan untuk memantau pelaksanaan regulasi. Maka, Koalisi Seni melakukan pemantauan dan evaluasi dua tahun berjalannya UU Pemajuan Kebudayaan. Pemantauan dan evaluasi tersebut terlaksana pada Januari-Mei 2019, memotret kondisi di tiga Pemerintah Provinsi serta 12 Pemerintah Kota/Kabupaten.
“Temuan kami berkisar pada aspek penyusunan peraturan pelaksanaan, pendataan, dan pendanaan bagi pemerintah pusat. Sementara itu, aspek kelembagaan, anggaran, dan visi daerah dalam pemajuan kebudayaan masih menjadi tantangan bagi pemerintah daerah,” ucap Peneliti Koalisi Seni, Miko Ginting.
Dari segi pembentukan peraturan pelaksanaan, UU Pemajuan Kebudayaan mengamanatkan 21 substansi harus diatur lebih lanjut dalam waktu 2 tahun, yang tenggatnya lewat pada 29 Mei 2019. Namun, baru satu substansi yang telah ada peraturannya, yakni mengenai tata cara penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).
“Kami merekomendasikan pemerintah segera mengesahkan peraturan pelaksanaan. Sebab, tanpa pengesahan, Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan yang telah disusun tidak dapat digunakan untuk mengarusutamakan kebudayaan dalam dokumen pembangunan penting seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah,” tutur Peneliti Koalisi Seni, Mulki Shader.
Amanat lain yang perlu diperjelas adalah Dana Perwalian Kebudayaan. Analisis pemberitaan menunjukkan wacana yang kerap beredar ialah seputar besaran dana yang akan digelontorkan, yakni Rp5 triliun per tahun seperti dijanjikan Presiden Joko Widodo. Pemilihan model kelembagaan, mekanisme pendanaan, akuntabilitas mekanisme pendanaan, dan akses pegiat kebudayaan yang sudah mulai digagas secara serius oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan sebaiknya melibatkan lebih banyak elemen masyarakat dalam pembahasannya.
Temuan lainnya adalah pemerintah daerah memerlukan sumber pendanaan alternatif, sebab Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang relatif kaku membuat ruang inovasi bagi mereka terlalu terbatas. Koalisi Seni menyarankan pemerintah pusat membantu pemerintah daerah agar dapat mengakses sumber pendanaan alternatif seperti dana aspirasi dewan, dana desa, serta kerja sama pemerintah dan swasta.
Sementara itu, anggota Komisi X DPR Ferdiansyah mengajak seluruh pihak terkait untuk mampu berpikir out of the box” dalam memaknai kebudayaan, selain itu Ferdiansyah juga mengajak masyarakat memanfaatkan momentum pilkada untuk memilih pemimpin daerah yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan kebudayaan.
Kumparan