Azis Syamsuddin Pimpin Delegasi DPR RI ke Pertemuan Inter-Parliamentary Union
Oleh Ahan Syahrul Arifin
Operasi tangkap tangan KPK terhadap Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Handang Soekarno seakan menampar muka Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mereformasi lembaganya. Penangkapan seakan meruntuhkan pondasi kepercayaan. Dugaan suap senilai 6 miliar rupiah tersebut tentu menambah beban pertumbuhan ekonomi yang pada Triwulan III-2016 melambat dibanding Triwulan-II 2016 turun dari 5,19 menjadi 5,02 persen.
Dalam survei Forum Ekonomi Dunia (WEF) tentang daya saing, Indonesia menempati urutan pertama dan kedua untuk masalah korupsi dan birokrasi. Korupsi tinggi menghambat daya saing. Apalagi ditambah inefisiensi birokrasi pemerintah. Suap di direktorat pajak membuktikan korupsi birokrasi sangat kronis.
Peringkat daya saing global 2016-2017 dalam survei WEF menunjukkan, posisi Indonesia melorot empat dari peringkat ke-37 menjadi 41 dari tahun sebelumnya. Ini menjadi pekerjaan rumah yang makin besar.
Penanganan korupsi tak bisa dilakukan dengan biasa. Reformasi hukum harus menyentuh seluruh lapisan. Tak cukup mengandalkan KPK ataupun Saber Pungli yang belakangan dibentuk. Terobosan-terobosan penting dengan menelurkan paket-paket kebijakan hukum juga harus dilakukan.
Reformasi dalam bidang hukum dapat diselaraskan dengan paket-paket kebijakan ekonomi dan Nawacita. Langkah ini harus dilakukan secara beriringan sehingga dapat menjadi pengungkit daya saing bangsa.
Persoalan-persoalan nonekonomi juga harus dibereskan. Misalnya menyangkut efisiensi pasar tenaga kerja yang berada pada peringkat 108. Pendidikan dasar dan kesehatan yang menempati peringkat 100. Pendidikan tinggi dan pelatihan di peringkat 63.
Semua itu perlu mendapat perhatian serius karena secara langsung terkait kinerja ekonomi. Pendidikan dan tenaga kerja sesungguhnya saling terkait. Kualitas tenaga kerja dan pendidikan rendah membuat Indonesia sulit memproduksi tenaga kerja kompeten.
Faktor pendidikan memegang peranan penting untuk meningkatkan kualitas pekerja Indonesia yang masih didominasi tenaga kerja berpendidikan rendah. Lulusan SD 49,97 juta, SMP 21,36 juta, SMA 20,41 juta dan SMK 12,17. Pekerja dengan pendidikan tinggi hanya 14,5 juta.
Persoalan kesehatan juga perlu mendapat perhatian serius sebab peringkat pelayanan kesehatan Indonesia turun 20 tingkat ke posisi 100. Belum lancar peningkatan gizi, pengurangan angka kematian ibu dan bayi. Malah belakangan marak peredaran vaksin dan obat palsu.
Sangat jelas, meningkatkan peringkat daya saing perlu reformasi pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan secara total. Peringkat daya saing dan kinerja perekonomian tidak akan maju, tanpa perubahan mendasar sektor nonekonomi seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan.
Peningkatan pada faktor-faktor kunci tersebut akan semakin baik jika didorong inovasi teknologi. Peningkatan dan penyiapan inovasi ini penting mengingat beberapa tahun ke depan akan ada bonus demografi. Kegagalan mengelola bonus ini akan menjadi masalah besar di penghujung 2045 nanti. Penataan kebijakan sangat penting dilakukan sejak sekarang. Roadmap pengembangan-pengembangan kebijakan mestinya didorong dengan berpijak pada bonus demografi.
Indonesia dapat belajar dari India yang meloncat dari peringkat 55 ke-39 tahun 2016-2017. Padahal jika ditilik dari skor India sama dengan Indonesia, 4,52. Namun, skor Indonesia dalam survei pemeringkatan daya saing 2016/2017 dan 2015/2016 tetap 4,52. Kondisi ini menunjukkan tidak ada perubahan dan perbaikan.
Perbaikan sektor pendidikan dan kesehatan menjadi kunci penting India. Selain itu, pemerintahan Modi juga mendorong deregulasi ekonomi massif yang membuat magnet investasi tumbuh subur. India juga didukung ketersediaan tenaga kerja terampil, murah, serta keunggulan kompetitif dalam bidang teknologi tinggi. Transformasi membuat ekonomi India tumbuh 7 persen.
India merupakan salah satu negara yang berhasil dalam pembangunan klaster-klaster Industri di Bangalore, Mumbai, Chennai, New Delhi dan Puna untuk investor. Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia masih tertinggal jauh dari India.
Untuk itu pula, 14 paket kebijakan ekonomi harus mampu mendorong daya saing. Paket-paket harus lebih implementatif dan efektif. Mereka jangan hanya jadi macan kertas perencanaan dan kebijakan. Perubahan dan perbaikan Indonesia mungkin sudah ada, tetapi negara lain nyatanya bergerak lebih cepat, tepat, dan efisien.
Dobrak
Masalah utama daya saing Indonesia tak cukup dengan paket kebijakan deregulasi, debirokratisasi maupun satgas pungli. Faktor keteladanan dan visi besar kepemimpinan menjadi daya dobrak menggerakkan perubahan dalam tubuh birokrasi. Kepemimpinan yang menurut Daron Acemoglu dan James A Robison (2014) dalam “Mengapa Negara Gagal” harus mampu melahirkan politik kebijakan inklusif.
Menurutnya, kemajuan sebuah peradaban selalu didukung institusi inklusif, transparan, dan akuntabel dengan daya dukung perilaku yang baik. Ini bukan institusi politik yang dirancang untuk memeras dan mengeruk pendapatan masyarakat untuk memperkaya diri. Politik ekstraktif semacam ini menjadi mesin kemakmuran bagi kelompok-kelompok elite dengan memainkan sistem ekonomi yang hanya menguntungkan kelompok oligarki.
Daron Acemoglu dan James A Robison mencontohkan perbedaan kemakmuran kota Nogales di AS dan Nogales di Mexico. Keduanya beriklim sama dan berdampingan, namun terletak dalam negara yang berbeda. Kemakmurannya berbeda. Jadi, institusi dan kebijakan politik akan menentukan kemakmuran bangsa.
Maka, penguatan kelembagaan menjadi kunci utama untuk memulai reformasi birokrasi. Agenda reformasi birokrasi dan perbaikan kualitas pegawai paling urgen. Revolusi mental tak bisa hanya menjadi jargon. Dibutuhkan keteladanan kepemimpinan untuk mendorong akuntabilitas, profesionalitas, dan transparansi birokrat. Pegawai yang tuna kompetensi, korup dan tak mau melayani harus dihilangkan. Korupsi memang masalah utama dan besar. Tetapi kalau itu dilakukan birokrat akan menjadi gunung es problem yang paling membahayakan.
Penulis alumnus Pasca Sarjana UI