Breaking News :

Melawan Kesenjangan

Oleh: M. Sarmuji, Anggota Komisi XI DPR RI

1486612910

Hingga saat ini masalah kemiskinan dan kesenjangan masih menjadi problem pembangunan. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang dibanggakan dan mendapat pujian dunia‎, ternyata tidak berdampak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan dan kesenjangan.

Meski persoalan kemiskinan dan kesenjangan sering dibahas dalam satu “tarikan nafas”, tetapi sesungguhnya kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Kemiskinan umumnya menunjukkan tingkat pendapatan di bawah garis kemiskinan tertentu. Sementara kesenjangan (inequality) mendeskripsikan mengenai jurang antara mereka yang pendapatan tinggi dan pendapatan rendah (Taylor, 2012).

Kemiskinan dan kesenjangan pun hubungannya tidak selalu searah. Bisa saja ketika tingkat kemiskinan turun, namun tingkat kesenjangan meningkat. Ini seperti yang terjadi di negeri ini, di mana kemisikinan dari tahun ke tahun mengalami penurunan—meski berjalan lambat, tapi di sisi lain tingkat kesenjangan kian parah. Menurut data BPS, tingkat kemiskinan menurun dari 16,66% (2004) menjadi 14,15% (2009), dan terus menurun menjadi 10,96% (2014).

Sementara itu, tingkat kesenjangan semakin mengkhawatirkan. Bahkan tingkat kesenjangan ‎terparah dalam sejarah Indonesia terjadi di era reformasi, yaitu pada tahun 2014 dengan gini ratio mencapai 0,414. Karena itu, tidak berlebihan apabila baru-baru ini Credit Suisse’s menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi keempat negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia, setelah Rusia, India, dan Thailand. Data terakhir yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), gini ratio tercatat sebesar 0,394 (September 2016) menurun dibandingkan gini ratio pada September 2015 yang sebesar 0,402.

Faktor Penyebab
Menurut penilaian Bank Dunia (2015), pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berbanding lurus dengan pengurangan kesenjangan ekonomi di masyarakat. Pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan warga terkaya (20%), tapi 80% populasi tertinggal di belakang. Ini tak lain karena pertumbuhan pendapatan 10% orang terkaya Indonesia tiga kali lipat lebih cepat daripada pertumbuhan 40% warga termiskin.

Realitas tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan dan pemerataan adalah suatu yang bersifat trade-off. Namun demikian, sejatinya hal ini bukan berarti naiknya kesenjangan merupakan kondisi yang tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi dari adanya pertumbuhan. Kesenjangan yang terjadi lebih disebabkan kesalahan pilihan kebijakan pembangunan.

Bila memperhatikan karakter pertumbuhan ekonomi—yaitu bagaimana cara pertumbuhan dicapai, siapa aktor yang berperan, sektor-sektor mana saja yang mendapat prioritas, lembaga-lembaga mana saja yang menyusun dan mengatur—menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan Indonesia selama ini lebih difokuskan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Sebagai contoh, meski tingkat kemiskinan di sektor pertanian tinggi, tetapi model pendekatan dalam kebijakan pertanian bersifat analisis teknis ekonomi semata, yaitu hanya memperhatikan persoalan yang menyangkut hasil dan biaya.

Model kebijakan pertanian seperti itu lebih menganakemaskan persoalan produksi secara nasional (mencapai target swasembada), ketimbang untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Pilihan kebijakan pembangunan yang pro pertumbuhan tersebut diambil dengan harapan pertumbuhan ekonomi yang diciptakan akan diikuti proses pemerataan (trickle down effect). Akan tetapi, realitasnya pertumbuhan yang diciptakan dengan pengorbanan segenap sumber daya tersebut, ternyata tidak diikuti proses pemerataan.

Kondisi tersebut tercipta karena adanya persoalan struktural yang dihadapi perekonomian Indonesia, di mana para pemilik modal (golongan kelas menengah-atas) mempunyai posisi tawar yang jauh lebih kuat dibanding aktor ekonomi kelas gurem. Dengan kata lain, kesenjangan terjadi merupakan buah dari kesenjangan penguasaan aset, seperti modal dan lahan. Hal tersebut bisa dilihat dari sisi kredit perbankan hanya 22% UMKM (dari total 57,8 juta UMKM) yang memiliki akses kredit ke perbankan. Alhasil pangsa kredit UMKM dari kredit perbankan hanya 19,7% dengan realisasi Rp 827,3 triliun hingga kuartal II 2016.

Sementara soal aset, data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukkan 56% aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2% penduduk Indonesia. Sementara itu, 26,14 juta rumah tangga tani, menurut Sensus Pertanian 2013, hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 ha per keluarga. Sebanyak 14,25 juta rumah tangga tani lainnya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha per keluarga. Padahal, skala ekonomi usaha pertanian minimal 2 ha.

Dalam suasana seperti ini, pembagian manfaat ekonomi bagi faktor-faktor produksi tidak mencerminkan keadilan. Ada faktor produksi yang under-compensated dan ada yang over-compensated. Oleh karena di Indonesia, masyarakat kelas bawah (seperti kaum buruh dan petani gurem) merupakan golongan yang paling lemah dalam sistem produksi, maka mereka tidak mendapat pembayaran secara wajar (under-compensated). Sementara pemilik modal memperoleh pembayaran di atas kewajaran (over-compensated).

Akibatnya, meski kalangan kelas bawah sudah bekerja banting tulang peras keringat, tapi pembayaran atas jerih payah mereka lebih kecil dari marginal productivity-nya. Sebaliknya, pembayaran terhadap kaum pemilik modal lebih besar dari produktivitas marginalnya. Kondisi semacam ini bila berlangsung terus-menerus, maka akan menciptakan kesenjangan yang kian parah.

Langkah Konkret
Melihat realitas kesenjangan yang parah tersebut, Indonesia harus mencari terobosan agar problem kesenjangan tidak berlarut-larut. Pemegang Nobel Ekonomi Gunnar Myrdal (1973) pernah menyatakan bahwa pemerataan mampu menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan. Karena itu, paradigma pembangunan harus berubah dari growth with equity menjadi equity for growth.

Dari sisi kebijakan, apa yang dilakukan pemerintah berada pada jalur yang tepat hanya butuh komitmen dan konsistensi dalam pelaksanaan. Pada tahun 2017 pemerintah berencana melakukan redistribusi aset sebagai tindak lanjut program Reforma Agraria. Dalam redistribusi aset, pemerintah akan mendistribusikan 4,5 juta ha lahan kepada masyarakat. Dari jumlah itu, sekitar 400 ribu ha di antaranya merupakan lahan hak guna bangunan (HGB) yang izinnya sudah tidak diperpanjang lagi. Pemerintah juga akan meredistribusi lahan pelepasan kawasan hutan ke masyarakat. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat ini ada 4,1 juta ha lahan kawasan hutan yang akan dilepaskan menjadi tanah objek reforma agraria.

Selain skema redistribusi aset, dalam program reforma agraria juga akan dijalankan skema legalisasi aset tanah. Program percepatan sertifikasi tanah ini tertuang dalam Paket Kebijakan Ekonomi VII. Dalam program ini, targetnya, lahan seluas 5 juta ha akan disertifikasi pada tahun 2017. Lalu, lahan seluas 7 juta ha disertifikasi tahun 2018, dan 9 juta ha pada tahun 2019. Harapannya, pada tahun 2025 seluruh bidang tanah di Indonesia bisa memiliki sertifikat atau memiliki kejelasan status hukum. Tentunya, apabila sudah disertikasi, tanah tersebut dapat menjadi agunan kredit.

Dari sisi kredit untuk rakyat, pemerintah harus terus mendorong agar kucuran kredit perbankan kepada usaha-usaha rakyat (UMKM) semakin deras. Perbankan harus didorong untuk bisa melayani semua pelaku usaha terutama usaha kecil. Peningkatan akses usaha kecil terhadap perbankan mutlak dilakukan.

Untuk itu, pemerintah memberi subsidi bunga untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi bunga KUR sebesar Rp 9,02 triliun. Subsidi akan diberikan untuk sekitar Rp 120 triliun KUR yang disalurkan.

Dengan adanya subsidi bunga tersebut, tingkat bunga KUR bisa di bawah tingkat bunga pasar. Terhitung Juli 2015, bunga KUR turun menjadi 12% dari posisi awal 21%. Per Januari 2016 bunga KUR menjadi 9%, dan untuk 2017 bunga KUR turun menjadi 7%.

Dorongan KUR untuk membiayai sektor usaha rakyat sangat penting karena kucuran kredit satu rupiah pada UMKM akan lebih menciptakan manfaat lebih besar bagi perekonomian ketimbang kredit satu rupiah bagi usaha besar atau korporasi. Secara umum sektor UMKM memiliki nilai incremental capital output ratio (ICOR) lebih rendah dan incremental labour output ratio (ILOR) lebih tinggi. ICOR merupakan indikator untuk mengukur sejauh mana efisiensi dari suatu investasi, semakin rendah nilai ICOR menunjukkan investasi yang dilakukan semakin efisien. Sementara itu, ILOR merupakan indikator efesiensi penyerapan tenaga kerja. Semakin besar nilai ILOR, penyerapan tenaga kerjanya akan semakin tinggi.

Oleh karena itu, upaya pemerintah mendorong KUR melalui kebijakan subsidi bunga adalah langkah strategis, tidak hanya untuk memajukan UMKM, melainkan juga untuk menyelamatkan perekonomian nasional dari ancaman pertumbuhan rendah dan minimnya kesempatan kerja.

Sayangnya, realisasi KUR masih didominasi oleh sektor perdagangan besar dan eceran, sehingga dampak nilai tambah bagi perekonomian kurang signifikan bila dibandingkan dengan kucuran KUR untuk sektor industri pengolahan, pertanian, dan perikanan. Data dari Kemenko Perekonomian menyebutkan realisasi KUR sepanjang 2016 pada sektor perdagangan hingga 67,7%. Kemudian pertanian berada di urutan kedua sebesar 16,7%. Disusul sektor industri pengolahan 4,44%, transportasi & komunikasi 1,65%, perikanan 2,24%, dan sektor lainnya hingga 8,55%.

Oleh karena itu, agar KUR dapat menjadi salah satu instrumen untuk memperbaiki tingkat kesenjangan, maka pemerintah harus mendorong KUR pada sektor-sektor yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian, seperti industri pengolahan, pertanian, dan perikanan. Selain itu, pemerintah juga harus menjamin penyaluran KUR dilakukan seperti desain yang ditetapkan, di mana untuk UMKM mikro tidak perlu ada agunan. Jangan bagus di konsep, bermasalah di pelaksanaan.

0 Reviews

Write a Review

Read Previous

“Lampu Kuning” Kebijakan Kelautan dan Perikanan

Read Next

Firmanzah: Keunggulan Basuki-Djarot, Bukti Kepemimpinannya Dirasakan Masyarakat