Breaking News :

Menyoal Judicial Review UU ITE dan UU Tipikor

Oleh: Ahria (Tenaga Ahli Fraksi Golkar DPR)

UU-ITE-min

Penyadapan (intersepsi) dapat berguna sebagai petunjuk untuk mengungkap suatu tindak kejahatan. Penyadapan menjadi salah satu solusi alternatif yang dapat melengkapi alat bukti dari suatu tindak kejahatan dalam proses investigasi kriminal. Akan tetapi, proses penyadapan yang dilakukan tanpa melalui prosedur hukum sangat jelas telah melanggar prinsip-prinsip perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 32 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa: “Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berkaitan dengan kegiatan penyadapan, dalam Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.” Sementara di dalam penjelasan Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi disebutkan bahwa, “Yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang.”

Selain itu, dalam Bab VII Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur tentang Perbuatan yang Dilarang menyatakan bahwa:

Ayat (1): “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain”.

Ayat (2): “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan”

Berdasarkan landasan hukum itulah, maka kegiatan penyadapan dalam kerangka hukum pidana harus dilakukan dengan lawful interception, yang berarti bahwa suatu penyadapan dan pengawasan terhadap aktivitas komunikasi harus dilakukan secara sah atas nama hukum dari suatu lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan yang ditentukan oleh peraturan tertentu kepada individu maupun kelompok. Oleh sebab itu, suatu kegiatan penyadapan harus dilakukan berdasarkan aturan perundang-undangan yang mengaturnya agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Berkaitan dengan rekaman hasil penyadapan yang dilakukan oleh Saudara MS dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan Saudara SN dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia, maka penyadapan tersebut adalah merupakan sebuah tindakan unlawful interception, di mana penyadapan dilakukan tanpa didasarkan pada kaidah hukum dan prosedur yang jelas dan secara nyata telah melanggar konstitusi. Sehingga, hasil rekaman tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah karena tindakan perekaman tanpa kepentingan penegakan hukum yang dilakukan oleh bukan aparat penegak hukum yang secara jelas tidak memiliki kewewenangan untuk itu, serta penggunaanya sebagai dasar untuk dilakukannya penyelidikan tidak selaras dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Selain itu, keberadaan norma dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b UU 11/2008 tentang ITE juga tidak mengatur secara tegas mengenai alat bukti yang sah adalah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan perekaman. Padahal, semestinya Undang-undang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya pengaturan penyadapan yang sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku dengan tetap memberikan penghormatan kepada hak asasi manusia dan tunduk pada konstitusi negara Republik Indonesia. Adapun ketentuan dalam pasal tersebut mengatur bahwa:

Pasal 5 UU ITE:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Pasal 44 huruf b UU ITE:

Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Dengan demikian, implikasi logis dari hasil penyadapan yang dilakukan Saudara MS yang dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan dalam kasus dugaan permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia yang diduga melibatkan Saudara SN batal demi hukum karena tidak memiliki kekuatan pembuktian di mata hukum.

Oleh karena itu, agar lebih memberikan kepastian hukum mengenai regulasi penyadapan, maka pengaturannya tidak dapat dipisahkan dari Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010, pasca Uji Materil UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE terhadap UUD 1945. Dalam Perkara Nomor 5/PUU-VIII/2010 tersebut, MK mengeluarkan putusan yang kemudian pertimbangannya mengamanahkan bahwa dalam membentuk aturan menganai mekanisme penyadapan, perlu dilihat syarat penyadapan, yaitu:

  1. adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang- Undang untuk memberikan izin penyadapan,
  2. adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan,
  3. pembatasan penanganan materi hasil penyadapan,
  4. pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan.

 

Serta unsur-unsur yang harus ada dalam pengaturan penyadapan, yaitu :

  1. wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan,
  2. tujuan penyadapan secara spesifik,
  3. kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan,
  4. adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan penyadapan,
  5. tata cara penyadapan,
  6. pengawasan terhadap penyadapan,
  7. penggunaan hasil penyadapan, dan hal lain yang dianggap penting yaitu mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan tersebut, serta pengaturan lain berupa sanksi pelanggaran, dan mekanisme internal untuk menjamin HAM.

 

Dengan kekuatannya yang mengikat sebagai Undang-undang, maka masuknya materi penyadapan (intersepsi) dalam RUU ITE dan RUU KUHAP yang saat ini masih tengah dibahas oleh Pemerintah dan DPR menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi perintah putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010. Revisi UU ITE ini pada dasarnya menyasar pada tiga aspek utama, yaitu terkait pasal pemidanaan, penyadapan dan hukum acara pidana yang diatur dalam UU ITE. UU ITE mengatur larangan penggunaan penyadapan selain untuk kepentingan penegakan hukum juga harus memastikan bahwa pengaturan penyadapan ke depan harus dimuat dalam UU khusus tentang Penyadapan.

 

 

0 Reviews

Write a Review

Read Previous

Menimbang Pemilu Serentak 2019: Dampaknya Terhadap Suara Partai

Read Next

Sekali Lagi Tentang Sistem Pemilu (Legislatif) untuk Pemilu Serentak 2019