Azis Syamsuddin Pimpin Delegasi DPR RI ke Pertemuan Inter-Parliamentary Union
Oleh: Ujang Komarudin*
Pemilu 2019 masih cukup jauh, tapi ibarat olah raga, gerakan peregangan awal sudah mulai dilakukan. Ini berkenaan dengan revisi Undang-undang Pemilu yang meski belum secara resmi dibahas di DPR, telah menjadi perbincangan cukup hangat.
Draf atau rancangan revisi UU Pemilu telah dirampungkan oleh Mendagri dan tinggal menunggu persetujuan dari Presiden. Menurut perkiraan Mendagri, draf ini akan diserahkan ke DPR setelah 17 Agustus mendatang, yaitu setelah masa reses anggota dewan berakhir.
Spirit yang terlihat dari revisi UU Pemilu ini adalah penyederhanaan sistem pemilu. Langkah awalnya adalah rencana peringkasan tiga UU terkait Pemilu menjadi satu UU Pemilu.
Ketiga UU tersebut adalah UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta UU Nomor 15 Tahun 2014 tentang Penyelenggara Pemilu.
Kelak, hasil fusi ketiga UU tersebut akan dinamakan UU Penyelenggaraan Pemilu.
Pelaksanaan Pileg dan Pilpres secara simultan pada tahun 2019 adalah sebuah hal baru yang kita sendiri masih gamang dalam mengantisipasi konsekuensi logis aturan mainnya. Ada begitu banyak ruang perdebatan di dalamnya.
Beberapa point utama yang berhembus kencang adalah seputar ambang batas suara parlemen, pencalonan presiden lewat partai politik, serta sistem pemilu legislatif (proporsional terbuka/tertutup).
Parliamentary Threshold
Yang pertama adalah wacana kenaikan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dari angka 3,5% pada Pemilu 2014 lalu. Beberapa pihak menyebut, kenaikan parliamentary threshold ini adalah upaya kongkret untuk menyederhanakan konfigurasi partai politik di parlemen.
Satu sisi, pendapat ini sungguh masuk akal. Parliamentary threshold merupakan penyaring efektif jumlah parpol yang dapat melaju ke parlemen. Terlalu banyaknya jumlah parpol akan menjadikan konstelasi politik nasional terlalu terfragmentasi.
Pada sisi lain, jika ambang batas parlemen dikerek naik, ini akan mengecilkan peluang bagi partai baru untuk bisa lolos ke Senayan. Tapi jika menilik ke belakang, rasanya sudah cukup kita bereksperimen dengan jumlah parpol pada pemilu 1999, 2004, dan 2009.
Terlebih, bila dibedah lebih jauh, beberapa parpol yang kini berada di parlemen pun sebetulnya memiliki platform yang serupa tapi tak sama. Entah itu di spektrum nasionalis, religius, atau moderat, kiranya tiga corak itu yang selalu bertahan pada tiap platform parpol kita dalam beberapa kurun waktu terakhir.
Jumlah parpol yang tidak terlampau banyak akan berdampak pada konsolidasi pemerintahan yang lebih efektif dan stabil. Tak salah memang jika menyebut muaranya adalah penguatan atau pemurnian sistem presidensial yang kita anut selama ini.
Pencalonan Presiden dari Partai Politik
Ada usulan bahwa presidential threshold 2019 dapat merujuk ke perolehan kursi pada pemilu sebelumnya, tahun 2014. Tapi logika ini kiranya kurang dapat terima, sebab kondisi ruang-waktu 5 tahun lalu (yang pastinya telah mengalami perubahan) tidak layak untuk dijadikan syarat aturan permainan masa kini.
Selanjutnya, apakah mekanisme presidential threshold masih relevan?
Secara politis, kongruensi pihak eksekutif dan legislatif adalah alasan di balik dimunculkannya presidential threshold, sebuah istilah yang sebenarnya tidak dikenal dalam kosakata politik internasional secara umum.
Muncul pertanyaan hipotesis, apakah dengan penyelenggaran Pileg dan Pilpres yang serentak ini masih relevan untuk menetapkan ambang batas presiden?
Merujuk UU Pilpres Nomor 42 Tahun 2008, ambang batas pencalonan presiden adalah 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Persyaratan ini masih relevan jika waktu pelaksanaan Pileg dan Pilpres berlangsung secara terpisah.
Penulis berpendapat, secara teknis mekanisme presidential threshold menjadi tak lagi relevan bila Pileg dan Pilpres berlangsung secara bersamaan. Basis argumennya juga kuat, yaitu Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”
Secara logika, ambang batas (threshold) telah termanifestasi dalam persebaran suara yang tercantum di dalam pasal tersebut.
Sistem Pemilu Legislatif: Proporsional Terbuka atau Tertutup?
Kelebihan sistem tertutup adalah biaya politik yang dapat ditekan dalam kampanye, karena calon pemilih hanya memfokuskan pilihan pada partai politik, bukan calon secara langsung, yang di samping jumlahnya banyak, juga sarat akan politik transaksional.
Permasalahannya, sistem proporsional tertutup hanya dapat diterapkan secara ideal jika transparansi mekanisme pencalonan anggota dalam partai politik telah dicapai. Jika menilai secara obyektif, partai politik di Indonesia masih jauh dari kondisi tersebut.
Hemat penulis, meski memiliki kelemahan, sistem terbuka lebih mewakili spirit berdemokrasi dalam kerangka ruang dan waktu saat ini. Perbaikan secara gradual dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan seperti aturan yang lebih ketat dan edukasi politik kepada pemilih agar tak terjebak pada politik transaksional.
Sistem terbuka memang memerlukan ongkos politik yang lebih tinggi, namun itulah harga yang harus kita bayar dalam pembelajaran kehidupan berdemokrasi. Kelak jika pemilih, sistem, serta peserta pemilu telah mencapai fase yang matang, sistem tertutup mungkin dapat dipertimbangkan.
—
Revisi UU Pemilu kali ini terasa istimewa. Peraturan perundangan ini kelak menjadi aturan main pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019, yang untuk pertama kalinya diadakan secara serentak. Eksperimen poitik terbaru dalam penyelenggaraan pesta demokrasi ini tentu menarik untuk diikuti.
Aturan yang baik akan ikut menentukan kualitas pemilu yang baik pula. Kualitas pemilu yang baik tentu akan berakibat semakin sehat dan majunya kehidupan berdemokrasi di negara kita.
*Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR)