Azis Syamsuddin Pimpin Delegasi DPR RI ke Pertemuan Inter-Parliamentary Union

Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga memasuki tahap harmonisasi dalam pembahasan di Baleg DPR RI. Golkar memandang RUU ini belum diperlukan karena masih bisa diwakili UU yang sudah ada.
“Kami mewakili teman-teman yang lain melihat bahwa urgensi dari RUU ini belum urgen, belum perlulah, karena kita melihat banyak UU yang bisa mewakili UU ketahanan keluarga ini,” kata Anggota Baleg DPR RI Fraksi Golkar, Nurul Arifin dalam rapat harmonisasi RUU Ketahanan Keluarga di kompleks gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/11/2020).
Nurul menyebut salah satu UU yang sudah mewakili ketahanan keluarga adalah UU Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkawinan. Nurul menyebut UU itu sudah mengatur soal ketahanan keluarga di dalamnya.
“Misalnya, salah satu contohnya adalah dalam UU Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang berbunyi ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembang diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin,” ujar Nurul.
Oleh sebab itu, menurut Nurul, RUU Ketahanan Keluarga dinilai tak diperlukan. UU terkait soal ketahanan keluarga sudah ada dan bisa mewakili.
“Kemudian juga saya memiliki juga catatan-catatan pribadi untuk menyatakan bahwa sebetulnya UU ini tidak perlu karena ada UU lain yang sudah existing dan kemudian sudah mewakili dari substansi yang ada di RUU Ketahanan Keluarga ini seperti yang lain adalah UU tentang Perkawinan dimana UU ini juga mengatur tentang peran keluarga dan sebagainya,” tutur Nurul.
Waketum Partai Golkar ini berpendapat lebih baik menguatkan ketahanan keluarga di UU terkait yang sudah ada. Semisal, kata Nurul, merevisi UU Perkawinan yang sudah ada.
“Sekali lagi argumentasi saya adalah lebih baik menguatkan UU, merevisi UU Perkawinan yang sudah ada misalnya yang sudah menjadi rencana dari dahulu sampai saat ini juga belum terealisasi daripada membuat UU baru yang kelihatannya substansinya ini terlalu luas dan mengurusi segala macam hal,” imbuhnya.
Seperti diketahui, RUU Ketahanan Keluarga yang tengah dibahas Baleg DPR RI menuai kontroversi. RUU itu dianggap terlalu mencampuri ranah pribadi.
Salah satu aturan yang disorot publik adalah soal diperbolehkannya pemerintah ‘ikut campur’ urusan rumah tangga masyarakat. . Dalam draf RUU ini, peran pemerintah dalam memantau ketahanan keluarga tercantum dalam Pasal 55. Pemantauan dan evaluasi akan dilakukan paling sedikit satu kali dalam setahun.
Begini bunyi pasalnya:
BAB VIII
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 55
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan pemantauan dan evaluasi Pembangunan Ketahanan Keluarga.
(2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan indikator Ketahanan Keluarga.
(3) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi Pembangunan Ketahanan Keluarga diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sementara itu, yang dimaksud dengan ‘Pembangunan Ketahanan Keluarga’ ialah terkait optimalisasi dan ketangguhan keluarga.
“Pembangunan Ketahanan Keluarga adalah upaya dalam menciptakan, mengoptimalisasikan keuletan, dan ketangguhan Keluarga untuk berkembang guna hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin,” bunyi Pasal 1 ayat 4.
Beberapa poin dalam RUU Ketahanan Keluarga yang menjadi kontroversi lainnya adalah:
– Donor sperma dan ovum bisa dipidana
– BDSM (sadisme dan masokisme) hingga homosex wajib direhabilitasi
– Praktik sewa rahim bisa dipidana
– Kewajiban istri dan suami. Salah satu kewajiban istri dalam RUU ini adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya
Ketua Tim Ahli Baleg DPR untuk RUU Ketahanan Keluarga, Barus, sebelumnya menyebutkan RUU Ketahanan Keluarga telah memenuhi syarat formil untuk diajukan sebagai undang-undang. Meski begitu masih membutuhkan penyempurnaan.
“RUU tentang Ketahanan Keluarga setelah kami pelajari telah memenuhi syarat formil untuk diajukan, karena RUU tersebut termasuk dalam Prolegnas RUU prioritas 2020 nomor urut 35 dan telah disertai dengan naskah akademik,” kata Barus.
Detik