Breaking News :

Rapat dengan Mendag, Sarmuji Minta Pemerintah Buat Perhitungan Harga Beras Rasional

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI M Sarmuji meminta pemerintah membuat perhitungan harga beras yang rasional. Harga beras yang diputuskan harus memenuhi unsur keadilan baik bagi produsen ataupun konsumen.

“Rasa-rasanya kita belum ada perhitungan harga beras yang rasional saat ini. Pemerintah dan masyarakat harus siap dengan perhitungan yang lebih rasional, sebenarnya yang layak bagi keseimbangan produsen dan konsumen itu berapa harga beras yang sesungguhnya,” kata Sarmuji dalam rapat kerja (raker) antara Komisi VI DPR RI dengan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 13 Maret 2024.

Bagi Sarmuji, sejauh ini belum ada ketetapan harga beras yang seimbang dari pemerintah. Ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur (Jatim) ini juga menyinggung soal perilaku masyarakat yang kerap menuntut harga beras murah.

“Karena menuntut harga beras yang selalu murah juga itu tidak adil bagi petani kecuali pemerintah punya cukup uang yang banyak untuk melakukan subsidi harga,” ucapnya.

Sarmuji mengajak semua pihak untuk sama-sama memikirkan posisi para petani jika harga beras ditekan ke harga yang paling murah sementara biaya produksi pertanian sudah jauh lebih mahal.

“Dan di saat barang-barang yang lain itu juga mengalami inflasi yang berkepanjangan yang kontinyu harga beras selalu dituntut berada di kisaran yang dalam ukuran masyarakat murah padahal biaya produksinya sudah naik,” ucap dia.

Oleh karenanya, Sarmuji mendorong pemerintah segera membuat ketetapan harga beras yang rasional. Dia meminta semua pihak untuk bersiap dengan keseimbangan harga beras.

“Nah itu Pak Menteri penting bagi pemerintah untuk menghitung secara rasional berapa harga beras yang layak untuk keseimbangan produsen dan konsumen,” katanya.

Tak hanya itu, Sarmuji menyinggung soal harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Menurutnya, HET sekarang tidak sebanding dengan harga kering panen (HKP).

“Bayangkan harga gabah dari sawah, harga kering panen (HKP) waktu itu sudah Rp7.200, tapi HET-nya dipatok Rp10.900, padahal harga beras dibandingkan harga HKP itu gampang saja menjumlahkannya, HKP dikalikan dua itu lah harga beras yang sesungguhnya,” kata Sarmuji.

“Kalau HKP dari sawah Rp7.200, berarti harga produksi akhirnya Rp14.400. Sementara HET nya masih Rp10.900. Siapa pun produsen mana pun tidak mau merugi,” timpal Sarmuji.

Atas ketidakseimbangan itu lah, kata Sarmuji, menjadi wajar jika beras di pasar dan ritel-ritel modern menjadi langka. Dia mengatakan hal yang rasional jika produsen yang taat pada HET ogah menjual berasnya di pasar modern.

“Karena produsen beras enggak mau rugi, mana ada orang dengan biaya produksi Rp14.400 disuruh menjual dengan HET yang jauh daripada itu. Akhirnya produsen beras yang itu lebih patuh di pasar modern tidak mau atau membatasi diri menjual ke ritel-ritel modern, kalau di pasar tradisional saya jamin beras enggak ada kelangkaan,” kata Sarmuji.

Sebelum menutup tanggapannya, Sarmuji kembali meminta Mendag Zulhas agar meninjau kembali HET beras, khususnya untuk beras yang premium. Dia berharap ada kebijakan harga beras yang ditetapkan nantinya sama-sama menguntungkan petani.

“HET-nya juga problem Pak Menteri jadi mohon ditinjau, ada kebijakan yang lebih fleksibel terhadap HET, terutama yang patut dipertanyakan adalah HET untuk beras premium. HET untuk beras premium harus dikaji supaya petani bisa mendapat harga yang layak juga,” kata dia.

0 Reviews

Write a Review

Read Previous

Kata Ketua Komisi II DPR soal Aturan Jabatan ASN Bisa Diisi TNI-Polri

Read Next

Komisi VIII DPR RI Tinjau Bantuan Pascabencana Puting Beliung di Kabupaten Bandung