Azis Syamsuddin Pimpin Delegasi DPR RI ke Pertemuan Inter-Parliamentary Union

Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia Retno Marsudi menjelaskan tema yang diangkat Indonesia dalam Keketuaan ASEAN 2023.
Untuk diketahui, Indonesia mengusung tema ASEAN Matters: Epicentrum of Growth pada Keketuan ASEAN 2023.
Retno menjelaskan ada dua elemen besar dari Keketuaan ASEAN.
Pertama yakni ASEAN Matters.
Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi I DPR RI, Senin (30/1/2023).
“Ini kaitannya dengan menjadikan ASEAN tetap relevan dan penting bagi masyarakat ASEAN dan dunia. Memastikan peran sentral ASEAN dan sebagai motor perdamaian serta stabilitas di kawasan Indo-Pasifik. Serta memperkokoh kapasitas dan efektivitas kerja ASEAN untuk hadapi tantangan masa depan,” kata Retno di Ruang Rapat Komisi I DPR, Senayan, Jakarta.
Elemen kedua dari tema Keketuaan Indonesia adalah epicentrum of growth.
Hal ini kaitannya dengan mempertahankan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan kawasan dan dunia.
Retno menjelaskan bahwa aejarah menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Tenggara melebihi laju pertumbuhan ekomomi dunia.
Adapun, lanjut Retno, Asian Development Bank memeprkirakan ekonomi Asia Tenggara tumbuh 4,7 pada tahun ini.
“Angka ini jauh di atas laju pertunbuhan ekonomi dunia yang hanya 1,7 persen menurut proyeksi terkahir dari Bank Dunia,” pungkasnya.
Dave Laksono Dorong Kemenlu Ingatkan Eropa Soal Double Standard
Penerapan demokrasi di negara-negara Eropa terus menjadi sorotan. Salah satunya tentang sering munculnya sikap ‘double standard‘ negara-negara Eropa ketika ada tindakan-tindakan penghinaan yang menargetkan umat beragama.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Dave Akbarshah Fikarno atau Dave Laksono mengatakan, negara-negara Eropa dengan dalih demokrasi selalu mendorong kebebasan beragama kepada negara lain. Bahkan, mendorong agenda-agenda LGBTQ++.
Tapi, ia merasa, mereka memiliki data standar yang kerap memaksakan tokoh-tokoh agama untuk melakukan hal-hal yang mereka kehendaki. Misalnya, wajib menikahkan pasangan LGBTQ++, baik itu kepada pendeta, imam atau tokoh-tokoh agama lain.
“Ketika pendeta itu menolak, mereka dianggap ‘infringement of human rights,” kata Dave dalam rapat kerja bersama Kementerian Luar Negeri, Senin (30/1/2023).
Padahal, ia menekankan, seorang pendeta harus melaksanakan apa saja yang mereka yakini, kebenaran yang mereka yakin dan ajaran mereka. Bahkan, ada pendeta yang sampai dicabut visanya, dicabut izinnya, hanya karena menolak menikahkan LGBT.
Contoh lain, lanjut Dave, di Swedia baru-baru ini, ada seorang tokoh politik yang membakar kitab suci Alquran karena menolak sikap politik Turki ke Swedia. Pemerintah Swedia menganggap itu sebagai demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Hal itu ringan disampaikan tanpa berpikir tindakan tersebut merupakan salah satu penghinaan bagi umat Islam. Ada pula komentar-komentar yang ketidaksepakatan ke Israel, yang oleh negara-negara Eropa mudah sekali diberikan label anti-semitic.
“Ketika statement yang rada anti-Israel dianggap itu anti-semitic, tapi bakar Alquran boleh, ini jadi ada double standard di negara-negara Eropa,” ujar Dave.
Dave berpendapat, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) bisa turut menyuarakan persoalan itu. Sebab, ketika negara-negara Eropa ini mau mendorong demokrasi, mereka harus mampu pula intropeksi diri dan melihat dari dua sisi.
Menurut Dave, Indonesia sebagai negara yang plural, walaupun non-sekuler, harus bisa mendorong pandangan-pandangan ini. Artinya, jangan sampai sikap ‘double standard’ itu dibiarkan dan malah akan menekan atau menghina umat beragama.