Oleh: Tardjo Ragil (Tenaga Ahli Fraksi Partai Golkar)
Berderet peristiwa kebangsaan sepanjang 2016 banyak yang harus diberi catatan. Salah satunya, menyangkut gerakan superdamai “Aksi Bela Islam”, yang populer dengan sebutan “Aksi 212”. Dalam aksi itu, jutaan Muslim dari berbagai pelosok nusantara tumpah-ruah memadati Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Tampak juga, peserta aksi dari etnis dan agama berbeda, berbaur bersama lautan Umat Islam dalam semangat persaudaraan, menuntut keadilan atas kasus penistaan Alqur’an yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Dari sudut pandang politik, Aksi 212 jelas bukan aksi demonstrasi biasa. Kehadiranya lebih sebagai gerakan sosial (social movement) yang sarat dengan muatan ideologis, yang kemudian memantik diskursus ihwal bangkitnya gerakan Islam politik di Indonesia. Jika dicermati, peristiwa Aksi 212 menorehkan catatan positif bagi pembangunan politik Indonesia kedepan – utamanya terkait dengan artikulasi politik Islam.
Agenda Islam Politik
Pertama, sebagai gerakan sosial – artikulasi politik Umat Islam yang dikemas melalui Aksi 212 menjadi cikal-bakal menumbuhkan tradisi masyarakat madani yang kuat. Ini penting, mengingat masyarakat madani adalah syarat bagi tegaknya demokrasi. Ia bermuara pada perlunya penguatan masyarakat (warga) untuk mengimbangi, sekaligus mampu mengontrol kebijakan negara yang distorsif dan cenderung memposisikan warga negara sebagai subyek yang lemah.
Pelembagaan masyarakat madani demikian penting ketika kecenderungan politik dewasa ini memperlihatkan semakin kuatnya konsolidasi kekuasaan rezim Jokowi-JK. Ini tampak setelah hampir semua kekuatan partai politik berjejal masuk menjadi penyokong pemerintah. Dampaknya, kekuatan partai politik di parlemen yang berfungsi sebagai “penyeimbang kekuasaan” semakin melemah. Dalam situasi demikian, penguatan masyarakat madani dibutuhkan untuk mencegah kecenderungan praktik politik rezim Jokowi-JK yang mulai memperlihatkan watak represif. Ini tampak dari aksi penangkapan beberapa aktivis dengan tuduhan “makar”, sebuah alasan dan labelisasi yang cenderung tendensius.
Kedua, opini dan kecurigaan yang dibangun terkait artikulasi politik Islam dalam Aksi 212 sebagai gerakan yang tidak mendukung negara Pancasila akhirnya terbantahkan. Dalam aksi tersebut, boleh jadi terbesar yang pernah berlangsung dalam sejarah di Indonesia – tidak ada tuntutan pembentukan negara Islam. Bahkan, ucapan yang bertendensi rasis tak sekalipun ditemukan. Bagi Umat Islam, yang terpenting adalah bahwa negara menunjukkan wibawanya – agar hukum ditegakkan seadil-adilnya. Inilah sesungguhnya pesan substantif dari Aksi 212.
Umat Islam menyadari sepenuhnya, bahwa pada kenyataanya Indonesia adalah negara yang secara sosial-keagamaan bersifat majemuk, maka – demi keberlangsungan dan keutuhan bangsa – konstruk kenegaraan yang menghendaki agar Indonesia didasarkan Pancasila adalah final. Karenanya, adanya pihak-pihak yang memperhadapkan Umat Islam dengan kelompok yang mengatasnamakan “kita Indonesia”, “kita Bhinneka Tunggal Ika”, sama saja tidak memahami “kontribusi sejarah” Umat Islam terhadap pembentukan dan keberlangsungan negara Indonesia.
Dengan demikian, meletakkan Islam dalam posisi yang bertentangan dengan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan konsep negara-bangsa – selain ahistoris, juga tidak memiliki landasan dan argumentasi yang kuat. Harus dipahami, geliat artikulasi Islam politik dewasa ini jangan lagi dicuigai sebagai kekuatan yang mengancam, melainkan sebagai pilar penyangga bangsa – sekaligus kontributif bagi pembangunan nasional Indonesia.
Ketiga, selain membangun semangat solidaritas – artikulasi Islam politik terutama ditujukan untuk mengembangkan kemampuan dan kesadaran masyarakat luas. Hal ini terutama berkaitan dengan masalah-masalah keadilan dalam pemerataan ekonomi. Pasca Aksi 212, gejala tersebut nampak dari munculnya gerakan mempersatukan seluruh kekuatan ekonomi Umat Islam – yang dimaksudkan untuk mendorong tata-kelola perekonomian nasional yang lebih berkeadilan.
Penting disadari, bahwa masalah keadilan dalam akses penguasaan sumber daya ekonomi menjadi persoalan yang sensitif. Betapa tidak, kekayaan Indonesia yang “melimpah-ruah” ternyata hanya dikuasai perorangan yang jumlahnya hanya satu persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dari satu persen orang tersebut, menguasai sebanyak 50,3 persen dari total kekayaan ekonomi Indonesia.
Dominasi penguasaan ekonomi hanya oleh sebagian kecil penduduk, justru semakin memperdalam jurang “ketakseimbangan ekonomi”. Lebih dari itu, kecenderungan tersebut hanya akan menumbuhkan eksklusi ekonomi yang bermuara pada monopoli atas hampir semua sektor ekonomi. Tentu saja, itu merugikan bagian terbesar penduduk negeri ini – dan jelas menjadi sumber kerawanan sosial yang sangat potensial. Sudah banyak terpahat dalam sejarah, terjadinya kasus-kasus pergolakan sosial-politik di negeri ini selalu mempunyai akar ketidakpuasan ekonomi. Oleh karena itu, merawat semangat Aksi 212 menjadi penting untuk meluruskan kembali arah pengelolaan ekonomi nasional pada jalan yang benar. Terutama, agar tujuan Sila ke-5 Pancasila – yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” segera terwujud. Wallau’alam