Azis Syamsuddin Pimpin Delegasi DPR RI ke Pertemuan Inter-Parliamentary Union
Oleh: Nastiti Lestari
Penggunaan social media adalah bentuk rekam jejak seorang politisi. Apa yang tersisa selain kata? Namun meski zaman sudah berkehendak, masih banyak politisi yang tak memanfaatkan. Beberapa malas, sebagian tak sempat dan lainnya sudah sekian periode di DPR RI jadi tak perlu “pencitraan”.
Ini adalah ibarat trading di pasar saham yang sedang bearish: melawan arus. Dengan kesibukan politisi, sedikitnya hanya dibutuhkan satu orang yang mengurus. Biasa disebut “admin” diambil dari kata adiministrator. Ia lah orang yang meng-operasikan website dan akun-akun social media. Memberikan update atau istilah digitalnya maintain. Memasukkan konten-konten yang berhubungan dengan politisi tersebut. Mengasah kepekaannya terhadap pemberitaan yang membawa muatan positif. Membuat meme. Menyebarkan berita terbaru hingga membuat counter attack terhadap sebuah serangan melalui internet. Sudah pasti ini bukan admin sembarang admin, ia dituntut memiliki kemampuan political correctness meski hal ini dapat diasah sambil berjalan, asal tekun.
Politisi harus tetap memberikan sentuhan pribadinya. Banyak yang bisa dikaryakan, seperti menulis artikel yang terkait dengan komisi atau bidangnya (tidak semua politisi menduduki komisi sesuai keahlian), tulisan-tulisan ringan, produk sastra atau kata-kata mutiara. Agar jejaknya kelihatan. Dengan demikian pengunjung akunnya akan mudah mengenal sang politisi. Sisi lain yang luput dari pemberitaan media. Social media juga merupakan tambatan terhadap politisi yang sering disibukkan dengan pertanyaan yang sama untuk jawaban yang sama.
Politik kini semakin transparan. Ruang interaksi dialogis antara politisi dengan konstituen sudah menjadi keharusan. Orang bebas menanyakan segala hal yang berkaitan. Seorang anggota parlemen, harus selalu dekat dengan pemilihnya bukan?
Sebuah artikel berjudul “Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World” yang ditulis oleh We Are Social, perusahaan media asal Inggris, diterbitkan tanggal 30 Januari 2018 mengungkapkan, dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta. Facebook menjadi media sosial paling banyak dikunjungi dengan capaian lebih dari 1 miliar juta pengunjung perbulan. Rata-rata pengunjung Facebook menghabiskan waktu 12 menit 27 detik untuk mengakses. 92 persen diantaranya mengakses via mobile. Pengguna Facebook didominasi golongan usia 18-24 tahun. Sementara total pengguna aktif Instagram bulanan di Indonesia mencapai 53 juta.
Social media juga membantu politisi kilas balik dengan apa saja yang telah mereka kerjakan. Ini seperti jurnal harian yang pada gilirannya nanti bisa dijadikan buku atau ditulis ulang. Sebuah investasi. Ada ungkapan, ide-ide segar datang seperti buah anggur, berkelompok dan berderetan dalam tangkai yang sama. Ia tidak tumbuh sendiri.
Social media dapat menjaga konsistensi sikap seorang politisi. Bidang atau spesialisasinya juga akan terlihat. Tidak masuk banyak isu dan justru memunculkan isu-isu baru yang konstruktif, membawa tone positif sehingga mendongkrak awareness dan menaikkan elektabilitas. Kita merindukan politisi yang tak hanya bicara skeptisisme tanpa optimisme. Politisi yang mampu memunculkan romantisme tapi juga tak kurang realisme.