Azis Syamsuddin Pimpin Delegasi DPR RI ke Pertemuan Inter-Parliamentary Union
Hari Guru tahun 2020 ini diawali dengan sejumlah berita baik dari beberapa kebijakan pemerintah yang pro- guru. Diantaranya adalah kebijakan pemberian kuota bagi guru untuk keberjalanan PJJ, pemberian bantuan subsidi upah bagi guru honorer, serta pengumuman pembukaan seleksi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian kontrak (PPPK) di tahun 2021 yang memprioritaskan guru honorer. Hal-hal tersebut tentu merupakan berita baik bagi kita, dan diharapkan dapat menjadi awal dari rentetan kebijakan yang berpihak pada guru.
Permasalahan terkait guru di Indonesia adalah sebuah wicked problem, yang tidak hanya kompleks dan penuh dengan komplikasi, namun juga sulit untuk ditentukan dimana awal, tengah, dan ujung permasalahannya. Berbeda dengan tame problem, dimana masalah bisa ditemukan, dicarikan solusinya berdasarkan ilmu pengatahuan, lalu masalah tersebut selesai. Perlu proses iteratif untuk menyelesaikan wicked problem ini, dan perubahan harus terjadi secara sistemik, bukan dengan mindset kuratif.
Transformasi manajemen guru merupakan kunci utama reformasi dunia pendidikan, lebih dari infrastruktur, teknologi, dan hal-hal lainnya. Aset terbesar kita adalah sumber daya manusia. Guru yang baik, ditempatkan dimanapun, akan mampu berinovasi dan berkreasi meski dengan berbagai keterbatasan. Sebaliknya, sebesar apapun biaya yang kita keluarkan untuk infrastruktur dan teknologi, tidak akan berdampak besar bagi pembelajaran jika tidak berada di tangan yang tepat. Oleh karena itu, dalam upaya kita membenahi dunia pendidikan di Indonesia, pantaslah jika segala energi, waktu, dan sumber daya kita kerahkan dengan porsi yang signifikan bagi guru-guru kita.
Isu yang sedang hangat dibicarakan di momentum Hari Guru ini adalah kebijakan pemerintah merekrut PPPK di tahun 2021 dan seterusnya. Rencananya, ditargetkan tak kurang dari 1 juta guru dapat menjadi PPPK melalui skema ini. Hanya guru honorer baik di negeri maupun swasta, serta lulusan PPG yang dapat mengikuti seleksi tersebut. Hal ini merupakan berita yang sangat baik,mengingat dengan terdaftar menjadi PPPK, guru mendapatkan kepastian terkait status, gaji, dan tunjangan, sesuatu yang bertahun-tahun tidak dimiliki sebagian besar guru honorer kita. Terlebih, pemerintah pusat sudah menjamin anggaran tersebut, sehingga daerah tidak perlu khawatir akan membebani APBDnya. Ini merupakan bentuk komitmen bersama bagi peningkatan kesejahteraan guru-guru kita.
Namun demikian, terdapat beberapa catatan yang saya miliki terkait program tersebut. Pertama, menurut hemat saya, hendaklah seleksi tersebut tidak hanya berdasarkan pada tes kompetensi yang akan dilakukan, namun juga mempertimbangkan pengabdian yang telah dilakukan. Misalnya, menjadikan pengalaman mengajar sebagai salah satu instrumen penilaian, dengan memberikan bobot lebih bagi mereka yang telah mengajar lebih lama. Hal ini akan menyeimbangkan aspek kompetensi dengan pengalaman, dan memberikan reward bagi mereka yang telah mengabdi lebih lama, tentu tanpa mengorbankan standar kompetensi yang harus dimiliki.
Untuk itu, pendataan haruslah akurat. Dalam Dapodik, perlu juga disertakan lama mengajar seorang guru honorer. Buka data tersebut secara publik, agar masyarakat terutama sesama guru dapat saling mengawasi apabila ada data yang kurang akurat. Hal ini mengurangi praktik- praktik kurang terpuji, seperti adanya fenomena guru honorer bodong atau titipan. Kita harus pastikan bahwa yang mendapatkan kesempatan tersebut adalah mereka yang berhak, mereka yang telah mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak-anak bangsa.
Selain itu, Kemendikbud juga harus menerapkan kriteria yang jelas terkait pengajuan guru oleh daerah. Bagaimana mendefinisikan kekurangan guru? Apakah yang dimaksud adalah kekurangan guru PNS? Bagaimana dengan swasta? Terdapat data-data yang menunjukkan bahwa sebenarnya secara rasio guru dan murid, jumlah guru kita secara nasional tidaklah kurang, namun masalah terletak pada distribusi yang tidak merata. Hal-hal ini harus diperjelas, baik dari sisi jumlah maupun lokasi penempatan. Jangan sampai pemerintah daerah mengajukan sebanyak-banyaknya, namun tidak disertai justifikasi yang jelas. Jika ini terjadi, anggaran yang begitu besar dari pemerintah pusat tidak akan teralokasikan dengan efektif dan efisien.
Program PPPK tersebut merupakan kebijakan yang baik untuk menangani permasalahan guru honorer dan kebutuhan guru yang mendesak saat ini. Namun demikian, perlu solusi lain yang bersifat sistemik untuk jangka panjang, yang memastikan rekrutmen guru berlangsung secara adil, meritrokratik, serta mengedepankan kesejahteraan guru. Selain dalam rekrutmen, perlu juga ada cetak biru manajemen guru kedepannya, yang mencakup sertifikasi dan pelatihan yang efektif, program-program pengembangan keprofesian, serta jenjang karier yang jelas. Hal ini harus tercantum dala Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang sedang dibahas bersama dengan Komisi X DPR RI.
Kami harap, kedepannya, putra-putri terbaik bangsa tidak ada yang ragu untuk mendaftar sebagai guru. Sejatinya, pekerjaan menjadi guru adalah salah satu pekerjaan tersulit, karena berkaitan dengan bagaimana membangun manusia. Oleh karena itu, pekerjaan ini harus diisi dengan orang-orang terbaik, dengan semangat pengabdian yang tinggi, dan tentunya diimbangi dengan kesejahteraan yang memadai. Kami di Komisi X akan terus mendorong kebijakan-kebijakan terkait guru kedepannya agar visi tersebut dapat tercapai.
Selamat Hari Guru, semoga semangat pengabdian Bapak/Ibu selama ini dapat berbuah manis bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Salam, Hetifah