Breaking News :

Wawancara Khusus dengan Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia

Komisi II adalah salah satu komisi strategis di DPR RI. Komisi ini memiliki lingkup tugas bidang dalam negeri, sekretariat negara, dan pemilihan umum.

Tahun ini, pilkada serentak akan dilaksanakan di 270 wilayah. Maka, mata publik mengarah tajam ke Komisi II. Menyaksikan bagaimana persiapan dan pengawasan dari Komisi II agar pilkada berjalan aman, damai, dan tanpa kasus korupsi.

Apalagi, bulan lalu publik sudah dikejutkan dengan kasus korupsi yang melibatkan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Dampak kasus itu sangat mungkin menurunkan kepercayaan publik pada lembaga penyelenggara pemilu, dan bisa berdampak juga pada partisipasi publik.

Hal itu disadari oleh Ketua Komisi II, Ahmad Doli Kurnia. Politikus Partai Golkar ini mengaku menyiapkan komisi yang ia pimpin dengan beberapa persiapan untuk mencegah terjadinya penyelewengan dalam pelaksanaan pilkada serentak 2020.

Dalam wawancara khusus dengan VIVAnews, Doli menceritakan apa saja yang sudah dilakukan oleh pihaknya untuk menyiapkan pelaksanaan dan melakukan pengawasan menjelang pilkada serentak.

Pria kelahiran Sumatera Utara, 48 tahun lalu itu adalah kader Partai Golkar yang setia. Doli mengawali kariernya di Partai Golkar melalui Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Sejak 2008, ia sudah menjabat sebagai ketua umum DPP KNPI. Jabatan terakhirnya di Partai Golkar adalah wakil sekjen DPP Golkar.

Pada 2018, ia didapuk menjadi wakil ketua Bidang Pemenangan Pemilu (PP) Sumatera. Pilkada 2019, Doli berhasil lolos ke DPR RI. Oktober 2019, ia dipercaya memimpin Komisi II DPR RI.

Kepada VIVAnews, Doli menyampaikan persiapan yang sudah dilakukan Komisi II untuk pelaksanaan pilkada serentak 2020. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana persiapan Komisi II menghadapi pilkada serentak?
Kita sudah beberapa kali melakukan rapat dengar pendapat dengan para penyelenggara, baik KPU, Bawaslu dan DKPP, terkait persiapan itu. Mulai dari persiapan peraturan sampai mengawasi soal teknisnya. Dan dalam konteks peraturan, sesuai dengan peraturan perundangan setiap KPU dan Bawaslu mau menyusun peraturan, mereka harus konsultasikan dulu ke DPR RI, dalam hal ini Komisi II. Sudah ada dua peraturan yang sudah dikonsultasikan oleh KPU. Dan kita sudah memberikan masukan, dan sekarang satu sudah diundangkan. Satu lagi dalam proses. Mungkin minggu-minggu ini selesai diundangkan dari Kementerian Hukum dan HAM.

Berapa banyak lagi aturan yang diundangkan?
Masih ada sekitar tujuh atau delapan peraturan di KPU, dan mungkin sekitar tiga atau empat dari Bawaslu. Itu dalam proses penyusunan draf dari mereka. Yang mungkin kalau selesai segera dikonsultasikan, dan kemarin rapat dengar pendapat terakhir yang meminta supaya segera mungkin. Sehingga dalam dua bulan, semua peraturan itu sudah selesai. Dan tinggal kita mengawasi soal persiapan teknisnya.

Berkaitan dengan persiapan teknis, kita juga sudah sepakat kan nanti membuat panja pengawasan tentang pelaksanaan pilkada. Kita bagi dua, secara khusus panja pengawasan pelaksanaan pilkada gubernur, dan juga yang kedua panja pelaksanaan pilkada kabupaten kota. Itu nanti mungkin di masa sidang yang kedua 2019-2020 ini akan kita bentuk.

Selain pengawasan aturan, apa lagi yang disiapkan Komisi II?
Secara informal kita terus membangun komunikasi dengan KPU, KPUD, dan Bawaslu. Kita juga sudah beberapa kali melakukan kunjungan spesifik. Termasuk dalam masa sidang ini, ada satu kunjungan spesifik yang khusus memantau soal persiapan pilkada serentak 2020. Jadi, sudah banyak yang kita lakukan untuk memastikan pelaksanaan pilkada serentak 2020 bisa berjalan dengan baik.

Terkait dengan peraturan KPU tadi, aturan apa saja yang sudah diselesaikan?
Pertama, ini yang sudah diundangkan, tentang penutupan, tata cara dan pembentukan PPK, PPS sampai ke tingkat KPPS itu satu. Kedua adalah soal pencalonan gubernur, bupati dan wali kota. Hal yang paling mencuat itu soal, apakah mantan narapidana korupsi boleh atau tidak. Hal lain adalah persiapan teknis, termasuk ada rencana dari KPU yang ingin melakukan proses rekapitulasi menggunakan elektronik atau e-recap.

Sejumlah personil TNI dan Polri melakukan pengamanan di Gedung KPU RI, Jakarta, Kamis, 18 April 2019.

Soal mantan napi, akhirnya bagaimana?
Sudah, kan kemarin itu harusnya sudah diundangkan. Jadi prosesnya, kami mengajukan itu. Kami memberikan saran di Komisi II, mengatakan bahwa silakan saja. Semua peraturan itu dibuat, selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan keputusan-keputusan di atasnya. Seperti putusan Mahkamah Agung, pada saat itu. Nah, tapi kemudian pada saat perundangan di Kementerian Hukum dan HAM, itu disesuaikan. Karena pasti Kemenkumham berpikirnya supaya tidak bertentangan dengan UU dan peraturan di atasnya. Maka waktu itu kemudian, hasil dari peraturan yang diundangkan, itu tidak menyantumkan itu. Tapi meminta, menyarankan kepada partai politik untuk tidak mencalonkan mantan narapidana.

Dua hari setelah diundangkan, keluar lagi putusan MK, yang mengatakan bahwa mantan narapidana korupsi boleh, setelah proses pemulihan 10 tahun. Jadi putusan MK yang terakhirlah yang nanti dimasukkan dalam peraturan KPU itu.

Sepertinya putusan MK ini menjadi jalan tengah ya?
Majelis hakim di Mahkamah Konstitusi sudah mempertimbangkan secara matang. Itu saya kira proses yang paling adil. Jadi kita tidak melarang mantan narapidana korupsi untuk menjadi calon kepala daerah. Tetapi dia juga harus punya tenggat waktu untuk proses penyesuaianlah di masyarakat.

Mengapa panja pelaksanaan pilkada ada dua?
O..iya. Ada dua. Namanya panja pengawasan pelaksanaan pilkada serentak 2020. Karena pentingnya, ada 270 pilkada, kemudian terdiri dari pemilihan gubernur dan kabupaten, kota. Jadi kami membagi dua supaya lebih konsentrasi. Pilkada gubernur energinya lebih besar. Makanya kita fokus mengawasi pilkada gubernur dan pilkada kabupaten kota.

Sudah terbentuk?
Nanti, kita sudah sepakat ada tujuh panja pengawasan yang akan kita bentuk dalam satu tahun ini. Tapi itu kan diatur maksimal dua di setiap masa sidang. Nanti kami akan bentuk panja itu, mendekati masa sidang yang mendekati pelaksanaan pilkada. Kalau enggak masa sidang yang kedua, ini kan sekarang yang pertama. Kita buat dua panja, panja ASN dan panja pertanahan. Nanti yang kedua kita lihat, apakah memang waktunya tepat di situ, atau masa sidang yang ketiga.

Berarti nanti tugas panja hanya pengawasan saja?
Ya memastikan bahwa persiapan dari penyelenggara dalam pelaksanaan KPU itu betul. Sudah cukup.

Mungkin akan ada rekomendasi panja terkait evaluasi juga nanti setelah pelaksanaan pilkada?
Enggak, panja itu kan cuma satu masa sidang. Jadi begitu masa sidang selesai, panja selesai. Rekomendasinya ya terjadi pada saat itu, kalau saat itu kita temukan di lapangan misalnya di daerah ini kesiapannya kurang, misalnya. Atau dana yang dipersiapkan oleh daerah tertentu belum turun. Turunnya baru sekian persen, sisanya kita minta. Paling rekomendasi yang teknis-teknis gitu. Jadi panja ini khusus untuk memastikan semua tahapan dan proses pelaksanaan pilkada serentak ini bisa berjalan baik. Dan pilkada bisa berlangsung dengan baik.

Kalau terkait dengan kendala, sejauh ini, kendala yang dihadapi menjelang pilkada apa saja? Atau mungkin lancar-lancar saja?
Sejauh ini, so far so good. Artinya semua persiapan, tahapan-tahapan yang sudah dilakukan KPU masih on the track. Cuma kemarin kita khawatir saja dengan kejadian saudara Wahyu (Wahyu Setiawan, KPU) itu. Kami saat itu sangat khawatir bisa mengganggu image dan trust dalam pelaksanaan pilkada serentak. Makanya waktu itu kita mengantisipasi, dengan cara kita undang di waktu pertama sidang ini semua DKPP, kemudian KPU dan Bawaslu, untuk mengetahui persis peristiwanya dan apa langkah-langkah antisipasi berikutnya, untuk menghindari ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Kami kan khawatir waktu itu kalau publik tidak percaya terhadap penyelenggara pemilu, maka nanti akan berdampak ketidakpercayaan terhadap pilkada.

Kasus suap Wahyu Setiawan membuat Anda khawatir publik semakin tak percaya dengan pilkada serentak?
Iya. Dari awal kita sudah ingatkan kepada penyelenggara termasuk KPU, bahwa kita harapkan Pilkada Serentak 2020, ini gelombang keempat, terjadi peningkatan kualitas. Nah, indikator yang paling gampang itu kan tingkat partisipasi publik. Dan ini menjadi tantangannya. Kemarin di Pileg dan Pilpres tahun 2019, tingkat partisipasinya 87 persen. Nah, kita kan berharap ya minimal sama, atau ya idealnya meningkat tingkat partisipasi politik dalam Pilkada Serentak 2020 ini.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan (kanan) berjalan seusai diperiksa di gedung KPK

Lalu, apa yang dilakukan agar kepercayaan publik terjaga?
Kita harus cepat mencari solusinya, Alhamdulillah, sekarang sudah diproses di DKPP, terjadi pelanggaran etik. Kemudian di Bawaslu juga sudah diputuskan ada kesalahan, tindakan. Dan kemudian presiden sudah menerbitkan keppres pemberhentian saudara Wahyu. Nah, kami sekarang tinggal menunggu, apakah dari pemerintah sudah masuk surat ke pimpinan DPR, yang nanti ke Komisi II untuk memproses segera penggantian saudara Wahyu. Mudah-mudahan kalau itu bisa selesai masalah saudara Wahyu itu.

Bagaimana proses untuk mengganti komisioner KPU di Komisi II dan DPR?
Sebenarnya tinggal administrasi saja. Karena dulu setiap proses pemilihan komisioner itu kan memang tidak tujuh, tapi disisakan sampai dua kali lipatnya. Itu untuk mengantisipasi kalau di antara tujuh yang terpilih, terjadi atau berhalangan tetap. Nah, sekarang sudah ada nomor 8, 9, 10, 11-nya. Tinggal diambil saja yang nomor 11-nya. Nanti tinggal tambah surat jawab. Mudah-mudahan terbit keppres yang baru, tentang anggota komisioner yang baru, kemudian dilantik.

Kembali ke persoalan Wahyu tadi, sudah ada langkah dari DKPP, sudah ada keppres, tapi apa sikap dari Komisi II untuk mencegah hal serupa tidak terulang lagi?
Kami kemarin juga, dalam kesimpulan Rapat Dengar Pendapat itu, kami di Komisi II bertekad, untuk mulai dari sekarang mempersiapkan proses seleksi semua komisioner, baik itu KPU maupun Bawaslu, yang betul-betul punya sistem yang cukup baik, yang selektif. Sehingga nanti memang dihasilkan komisioner-komisioner yang lebih berintegritas.

ICW kan mengatakan pilkada juga rentan korupsi, tanggapan dari Komisi II bagaimana dan kira-kira untuk penanganannya seperti apa? Kira-kira ke depan pencegahannya?
ICW bilang yang mana? Dalam konteks penyelenggara? Atau dalam konteks apa? Kalau soal pengadaan, di mana-mana yang namanya pengadaan bukan hanya pemilu, setiap instansi selama ada proses pengadaan barang dan jasa, pasti rentan korupsi. Saya kira, itu yang saya ingatkan kemarin. Kasus, saudara Wahyu ini kan modus baru “praktik korupsi”. Meskipun masuk dalam kategori suap atau gratifikasi. Artinya yang seperti ini, kalau dulu, orang mengasumsikan kalau korupsi di instansi biasanya di pengadaan barang dan jasa. Nah sekarang ada modus baru. Kita ingatkan juga pada KPU dan penyelenggara lain untuk hati-hati. Artinya sudah ada modus lain. Nah yang biasanya tidak ada, harus tetap diawasi.

Kita tentu mengambil pelajaran dan hikmah dari kejadian-kejadian Wahyu ini. Mudah-mudahan ini menjadi pembelajaran bagi seluruh komisioner, baik KPU, Bawaslu, maupun DKPP. Baik itu di KPU pusat sampai ke tingkat ke daerah, untuk lebih berhati-hati.

Pencalonan dan penghitungan suara juga mungkin bisa menjadi celah, atau rentan juga. Mungkin ada langkah awal untuk bisa mencegah korupsi terjadi di pencalonan, atau bahkan suap dicalonkan, atau penghitungan?
Pencalonan itu kan ada di partai politik. Saya kira tidak ada keterkaitan soal korupsi, kalau soal pencalonan, karena itu wilayahnya partai politik. Nanti kan soal mahar-mahar politik, terus kemudian kalau soal pemenangannya, soal money politic, itu nggak ada urusannya dengan korupsi di tingkat penyelenggara, walaupun itu menjadi konsen kita.

Kita nggak mau juga ekses-ekses negatif pelaksanaan pileg dan pilkada selama ini, seperti money politic, kemudian ada mahar politik, terus berlangsung. Kita berharap proses pilkada ini, dari gelombang ke gelombang harusnya terjadi peningkatan kualitas yang lebih baik.

Lalu, bagaimana Komisi II melakukan pengawasan terhadap KPU dan KPUD untuk mencegah terjadinya korupsi pengawasan pilkada secara keseluruhan?
Pertama, kita lakukan kunjungan spesifik. Tujuannya untuk mengawasi. Jadi kita datang, ketemu dengan KPU, Bawaslu, DKPP di daerah. Menanyakan kesiapan, terus kemudian mengantisipasi hal-hal segala macam. Kedua, melalui panja pengawasan. Dengan hal itu, kami berharap tidak terjadi lagi korupsi di proses pilkada serentak ini.

VIVANEWS

0 Reviews

Write a Review

Read Previous

Firman Soebagyo Berharap DPR dan Pemerintah Terbuka Ajak Semua Pihak Diskusi Soal Omnibus Law

Read Next

Komisi VII DPR Dorong Percepatan Produksi ‘Drone’ oleh PTDI